Selasa, 08 Desember 2009

Arti, Landasan dan Rukun Ijarah

A. Arti, Landasan dan Rukun Ijarah
1. Arti Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminology syara’. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a. Ulama Hanafiyah : عقدعلى المنافع بعوض
Artinya : “Akad atas suatu kemanfaatan dengan penganti”
b. Ulama Asy Syafiiyah
عقدعلى منفعه مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاءباحة بعوضى معلوم
Artinya : “ Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”

Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya. Domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya dan lain-lain.

2. Landasan Syara’
Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah di syariatkan dalam islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, berpendapat/beralasan bahwa ijarah adalah jual beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada) sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut. Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al Qur’an, As sunnah dan ijma’.
a. Al Qur’an
فان ارضعن لكم فٲتوهن اجورهن (الطلاق : ٦)
Artinya : “ Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu maka berikanlah upahnya” (QS. Thalaq:6)
As Sunnah
اعطوا الا جيراجرة قبل ان يجف عر قه
Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”
(Hr. Ibn Majah dari Ibn Umar)

b. Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia

3. Rukun Ijarah
Menurut Jumhur Ulama, rukun ijarah ada (4) empat, yaitu :
1. Aqid (orang yang akad)
2. Shigat akad
3. Ujrah (Upah)
4. Manfaat

B. Syarat Ijarah
1. Syarat terjadinya akad
2. Syarat pelaksanaan (an-nafadz)
3. Syarat Sah
a. Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
b. Ma’qud alaih bermanfaat dengan jelas
1) Penjelasan manfaat
2) Penjelasan waktu
3) Sewa bulanan
4) Penjelasan jenis pekerjaan
5) Penjelasan waktu kerja
c. Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
d. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
e. Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
f. Tidak mengambil manfaat bagi diri yang disewa
g. Manfaat ma’qud alaih sesuai dengan keadaan yang umum



4. Syarat Kelaziman
1. Ma’qud Alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
2. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad
a) Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah dalam memperkerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan sesuatu atau pekerjaan menjadi sia-sia
b) Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang disesuaikan harus dijual untuk membayar utang dan tidak ada jalan lain, kecuali menjualnya.
c) Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa kamar mandi, tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa harus pindah

C. Sifat dan Hukum Ijarah
1. Sifat ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang lazim yang didasarkan pada firman Allah SWT: اوفوابالعقود , yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuh akad.

2. Hukum ijarah
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatab bagi penyewa dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud alaih. Sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.

D. Akhir Ijarah
Sebenarnya, tentang penghabisan ijarah telah disinggung pada pembahasan terdahulu. Namun demikian, akan dijelaskan kembali,
1. Menurut ulama hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya orang yang berakad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk melanjutkannya
2. Pembatalan akad
3. Terjadinya kerusakan pada barang yang disewa
4. Habis waktu, kecuali kalau ada uzur
1. Pinjam-Meminjam (Ariyah)
a. Pengertian dan Landasan Ariyah
1) Pengertian Ariyah
Menurut etimologi, ariyah adalah ( العاريه ) diambil dari kata ( عار ) yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata ( التعاور ) yang sama artinya dengan ( التناول اولتناوب ) (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
a) Menurut terminology syara’ ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
تحليك المنفعة بغيرعوضى
Artinya :
“ Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”
b) Menurut ulama syafi’iyah dan Hambaliyah
اباحة المنفعة بلا عوض
Artinya :
“Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti”

Akad ini berbeda dengan hibah karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lai. Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.

2) Landasan Syara’
a) Al Qur’an
ونعاونواعلى البروالتقواى ( المائدة : ۲)
Artinya :
“Tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa”
(QS. Al Maidah:2)


b) As sunnah
Dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas, dikatakan bahwa rasulullah SAW telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.

b. Rukun dan Syarat Ariyah
1) Rukun Ariyah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qobul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu :
a) Mu’ir (peminjam)
b) Musta’ir (yang meminjamkan)
c) Mu’ar (barang yang dipinjam)
d) Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan

2) Syarat Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut :
a) Mu’ir berakal sehat
b) Pemegangan barang oleh peminjam
c) Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusah zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah
c. Hukum (ketetapan) akad ariyah
1) Dasar hokum Ariyah
Menurut kebiasaan (urf). Ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan majaz
a) Secara hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya
b) Secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan dan lain-lain, seperti telur, uang dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya.

2) Hak memanfaatkan barang pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir (orang yang member pinjaman).
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yaitu dimiliki oleh Musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah meminjamkannya secara terikat (muqayyad) atau mutlak.
a) Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak, yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah manfaatnya hanya untuk pinjaman saja atau dibolehkan oleh orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya orang yang meminjam binatang namun dalam akadnya tidak disebutkan yang berkaitan hal tersebut.
b) Ariyah Muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan barang yang dibatasi dari segi waktu dan martabatnya, baik disyari’atkan pada keduanya atau salah satunya.
- Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam
Jika Mu’ir membatasi hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal lainnya, seperti mengendarai binatang atau memakai pakaian.
- Pembatasan waktu atau tempat
Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau menambah waktunya, ia bertanggung jawab atas penambahan tersebut.
- Pembatasan ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan kelebihannya.


A. Arti, Landasan dan Rukun Gadai Ariyah
1. Arti Ar Rahn (Gadai)
Secara etimologi, rahm berarti الشبوت والدوام (tetap dan lama) yakni tetap atau berarti الحبسى واللزوم (pengekangan dan keharusan).
Menurut terminology syara’, rahn berarti :
حبسى شئ بحق منكن استفاؤه منه
Artinya :
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijaikan pembayaran dari barang tersebut”

Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn:
a. Menurut ulama syafi’iyah:
جعل عين وثيقة بدين يستوفى منها عند تعدروفائه
Artinya :
“Menjadikan suatu benda sebagai suatu jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berlangganan dalam membayar utang”

b. Menurut ulama Hanabillah
المال الذي يجعل وثيقة بالذين ليستوفىمن ثمنه ان تعدم استيفاؤه ممن هوله
Artinya :
“Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pemnbayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman”

2. Sifat Rahn
Secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad.
Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al qabdu). Sesuai kaidah لايتم التبرع الابالقبض (tidak sempurah tabarru, kecuali setelag pemegangan).

3. Landasan rahn
a. Al Qur’an
وان كنتم على سفرولم تجدواكاتبافرهان مقبوضه
Artinya :
“Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai). Sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”
(QS. Al Baqarah: 283)

b. As Sunnah
عن عاشة رع.ان رسول الله صم اشترى من يهودي طعاماورهنه درعامن حديد.
Artinya :
“Dari Aisyah r.a bahwa rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hukum Rahn
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan tapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai.
Firman Allah SWT: فلاهان مقبوضة pada ayat diatas adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut, dinyatakan:
Artinya :
“ Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya)”
(QS. Al Baqarah: 283)

5. Rukun Rahn dan Unsur-unsurnya
Rahn memiliki empat unsure, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), al murtahin (orang yang menerima), al Marhun (jaminan) dan al marhun nih (utang).
Menurut ulama hanafiyah rukun rahn adalah ijab dan qabul rahin dan al murtahin, sebagaimana pada akan yang lain. Akan tetapi akad, akad dalam rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Adapun menurut ulama selain hanafiyah, rukun rahn adalah shighat, aqid (orang yang akad), marhun dan marhum bih.

B. Syarat-syarat Rahn
1. Persyaratan aqid
2. Syarat Shigat
Adapun menurut hanafiyah berpendapat bahwa shigat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu.
Adapun menurut ulama selain hanafiyah. Syarat dalam rah nada yang sahih dan yang rusak. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga :
1) Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita
2) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi makanan tertentu, syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
3) Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang merugikan murtahin

3. Syarat marhun bin (utang)
a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
c. Hak atas marhun bih harus jelas
4. Syarat marhun (borg)
Ulama hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a. Dapat diperjual belikan
b. Bermanfaat
c. Jelas
d. Milih rahim
e. Bisa diserahkan
f. Tidak bersatu dengan harta lain
g. Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
5. Syarat kesempurnaan Rahn (memegang barang)
a. Cara memegang marhun
1. Atas seizing rahn
2. Rahin dan murtahin harus ahli dalam ahad
3. Murtahin harus tetap memegang rahim
b. Orang yang berkuasa atas borg
1. Syarat-syarat adl
2. Brog terlepas dari adl
Brog dapat lepas dari adl dengan alas an berikut:
a. Habisnya masa rahn
b. Rahn meninggal
c. Adl meninggal
d. Adl gila
e. Rahim melepaskan atau membatalkan brog
3. Hukum Adl
a. Adl harus menjaga brog sebagaimana menjaga miliknya
b. Adl harus tetap memegang brog sebelum ada izin dari yang melakukan akad untuk menyerahkan kepada orang lain
c. Jika brog rusak tanpa disengaja, kerusakan ditanggung oleh murtahin
d. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa Adl tidak boleh melepaskan atau membatalkan (menyerahkan) brog, sedangkan menurut syafi’iyah dan hanabilah. Adl bebas untuk melepaskannya.
6. Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat Rahn
a. Brog harus utuh
b. Brog yang berkaitan dengan benda lainnya
c. Gadai utang
d. Gadai barang yang didagangkan atau dipinjamkan
e. Mengandaikan barang pinjaman
f. Gadai tirkah (harta peninggalan jenazah)
g. Gadai barang yang cepat rusak
h. Menggadaikan kitab

C. Hukum Rahn dan Dampaknya
1. Hukum Rahn sahih/Rahn lazim
2. Dampak Rahn Sahih
a. Adanya utang untuk rahim
b. Hak menguasai brog
c. Menjaga barang gadaian
d. Pembiayaan atas brog
e. Pemanfaatan gadai
f. Tasharuf (mengusahakan) rahn,

LUQTHAH (Barang Temuan)
Luqthah (barang temuan) itu ialah barang yang dipungut ditempat atau daerah yang tidak dimiliki oleh orang; seperti barang yang terjatuh atau yang tertinggal dijalan atau disuatu tempat yang tidak dimiliki orang yang ditemukan orang.
Ada beberapa hadits yang akan dikemukakan untuk menjelaskan masalah barang pungutan atau barang temuan di jalan ini.
عن ٲنسرضى الله عنه قال : مررسول الله بتمرة الطر يق فقال : لولاانى ٲخاف ٲن تكون من الصدقةﻷكلتها
Artinya :
“Dari Anas r.a beliau berkata: Nabi Muhammad saw. Berjalan meliwati sebutir kurma di jalan, lalu beliau bersabda : Seandainya saya tidak khawatir tamar itu adalah dari sedeqah (zakat), maka sungguh saya memakannya. Muttafaq ‘alaih”
Hadits tersebut menunjukkan boleh mengambil sesuatu barang pungutan yang sedikit yang bermanfaat dan tidak wajib mengumumkannya serta boleh dimiliki setelah mengambil (memungutnya) itu. Menurut zhohir hadits tersebut boleh mengambil barang pungutan di jalan yang sedikit itu sekalipun pemiliknya diketahui. Ada orang yang berpendapat tidak boleh diambil kecuali diketahui pemiliknya. Barang pungutan yang diketahui pemiliknya tidak boleh diambil sekalipun sedikit sekali.
Sudah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. Meninggalkan barang temuannya itu ; Bagaimana beliau meninggalkannya padahal wajib atas kepala Negara (imam seperti beliau itu) untuk memelihara harta yang hilang, memelihara barang zakat dan membaginya kepada yang berhak menerimanya? Pertanyaan tersebut dijawab: Bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengambilnya; hanya saja beliau tidak memakannya karena hati-hatinya atau beliau sengaja meninggalkannya agar diambil oleh orang yang liwat di antara orang-orang yang halal barang sedeqah baginya. Tidak wajib bagi imam selain memelihara harta yang beliau ketahui pemiliknya. Dalam hadits tersebut terkandung anjuran untuk hati-hati memakan sesuatu yang ada kemungkinan haramnya.
Pelajaran yang terkandung di dalam hadits tersebut :
Dalam hadits tersebut ada beberapa pelajaran yang perlu diperhatikan tentang barang pungutan di jalan:
1. Boleh mengambil barang pungutan dijalan yang sedikit
2. Boleh memakan barang makanan pungutan itu jika ternyata halal, tidak boleh dimakan barang makanan yang diragukan halalnya
3. Nabi Muhammad saw haram memakan barang sedeqah (zakat)
Mengenai larangan memakan sesuatu yang meragukan halal dan haramnya itu dijelaskan dalam hadits berikut ini :
عن النعمان بن بشيررض ى الله عنهماقال : سمعت رسول الله يقول: وٲهوى النعمان بٳصبعيه ٳلى ٲذنيه : ان الحلال بين والحرام بين وبينهما مشتبهات لايعلمهن كثيرمن الناس فمن اتقى الشبها ت فقد استبرٲلدينه وعرضه ومن وقع فى الشبهات وقع فى الحرام : كالراعى يرعى حول الحلى يوشك ٲن يقع فيه ٲلاوان لكل ملك حمى. ٲلاوان حمى الله محارمه الاوٳن فى الجسد مضغةٳذ صلحت صلح الجسد كله وٳذا فسدت فسد الجسد كله. الاوهى القلب.
Artinya :
“Dari Nu’man bin Basyir r.a beliau berkata : Saya mendengar rasulullah saw bersabda : dan Nu’man mengangkat dua jari tangannya pada kedua telinganya : Sesungguhnya yang halal jelas dan yang harampun jelas; Dan diantara keduanya itu ada yang syubhat (yang meragukan halal dan haramnya); Kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat itu, maka sungguh dia sudah bersih dalam agamanya dan kehormatannya; Dan barang siapa yang terjerumus dalam syubhat itu maka dia sudah terjerumus dalam yang haram itu: Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat…“














IJARAH, ARIYAH, RAHN, DAN LUQATAH


Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah”FIQH MUAMALAH”


Dosen Pengampu :
A. Halil Thohir, M.HI









Disusun Oleh:
MAHFUD
9331 011 08


JURUSAN USHULUDDIN – PRODI PERBANDINGAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2009

1 komentar: