Selasa, 08 Desember 2009

Arti, Landasan dan Rukun Ijarah

A. Arti, Landasan dan Rukun Ijarah
1. Arti Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminology syara’. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a. Ulama Hanafiyah : عقدعلى المنافع بعوض
Artinya : “Akad atas suatu kemanfaatan dengan penganti”
b. Ulama Asy Syafiiyah
عقدعلى منفعه مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاءباحة بعوضى معلوم
Artinya : “ Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”

Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya. Domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya dan lain-lain.

2. Landasan Syara’
Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah di syariatkan dalam islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, berpendapat/beralasan bahwa ijarah adalah jual beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada) sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut. Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al Qur’an, As sunnah dan ijma’.
a. Al Qur’an
فان ارضعن لكم فٲتوهن اجورهن (الطلاق : ٦)
Artinya : “ Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu maka berikanlah upahnya” (QS. Thalaq:6)
As Sunnah
اعطوا الا جيراجرة قبل ان يجف عر قه
Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”
(Hr. Ibn Majah dari Ibn Umar)

b. Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia

3. Rukun Ijarah
Menurut Jumhur Ulama, rukun ijarah ada (4) empat, yaitu :
1. Aqid (orang yang akad)
2. Shigat akad
3. Ujrah (Upah)
4. Manfaat

B. Syarat Ijarah
1. Syarat terjadinya akad
2. Syarat pelaksanaan (an-nafadz)
3. Syarat Sah
a. Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
b. Ma’qud alaih bermanfaat dengan jelas
1) Penjelasan manfaat
2) Penjelasan waktu
3) Sewa bulanan
4) Penjelasan jenis pekerjaan
5) Penjelasan waktu kerja
c. Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
d. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
e. Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
f. Tidak mengambil manfaat bagi diri yang disewa
g. Manfaat ma’qud alaih sesuai dengan keadaan yang umum



4. Syarat Kelaziman
1. Ma’qud Alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
2. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad
a) Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah dalam memperkerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan sesuatu atau pekerjaan menjadi sia-sia
b) Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang disesuaikan harus dijual untuk membayar utang dan tidak ada jalan lain, kecuali menjualnya.
c) Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa kamar mandi, tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa harus pindah

C. Sifat dan Hukum Ijarah
1. Sifat ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang lazim yang didasarkan pada firman Allah SWT: اوفوابالعقود , yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuh akad.

2. Hukum ijarah
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatab bagi penyewa dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud alaih. Sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.

D. Akhir Ijarah
Sebenarnya, tentang penghabisan ijarah telah disinggung pada pembahasan terdahulu. Namun demikian, akan dijelaskan kembali,
1. Menurut ulama hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya orang yang berakad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk melanjutkannya
2. Pembatalan akad
3. Terjadinya kerusakan pada barang yang disewa
4. Habis waktu, kecuali kalau ada uzur
1. Pinjam-Meminjam (Ariyah)
a. Pengertian dan Landasan Ariyah
1) Pengertian Ariyah
Menurut etimologi, ariyah adalah ( العاريه ) diambil dari kata ( عار ) yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata ( التعاور ) yang sama artinya dengan ( التناول اولتناوب ) (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
a) Menurut terminology syara’ ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
تحليك المنفعة بغيرعوضى
Artinya :
“ Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”
b) Menurut ulama syafi’iyah dan Hambaliyah
اباحة المنفعة بلا عوض
Artinya :
“Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti”

Akad ini berbeda dengan hibah karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lai. Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.

2) Landasan Syara’
a) Al Qur’an
ونعاونواعلى البروالتقواى ( المائدة : ۲)
Artinya :
“Tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa”
(QS. Al Maidah:2)


b) As sunnah
Dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas, dikatakan bahwa rasulullah SAW telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.

b. Rukun dan Syarat Ariyah
1) Rukun Ariyah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qobul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu :
a) Mu’ir (peminjam)
b) Musta’ir (yang meminjamkan)
c) Mu’ar (barang yang dipinjam)
d) Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan

2) Syarat Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut :
a) Mu’ir berakal sehat
b) Pemegangan barang oleh peminjam
c) Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusah zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah
c. Hukum (ketetapan) akad ariyah
1) Dasar hokum Ariyah
Menurut kebiasaan (urf). Ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan majaz
a) Secara hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya
b) Secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan dan lain-lain, seperti telur, uang dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya.

2) Hak memanfaatkan barang pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir (orang yang member pinjaman).
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yaitu dimiliki oleh Musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah meminjamkannya secara terikat (muqayyad) atau mutlak.
a) Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak, yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah manfaatnya hanya untuk pinjaman saja atau dibolehkan oleh orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya orang yang meminjam binatang namun dalam akadnya tidak disebutkan yang berkaitan hal tersebut.
b) Ariyah Muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan barang yang dibatasi dari segi waktu dan martabatnya, baik disyari’atkan pada keduanya atau salah satunya.
- Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam
Jika Mu’ir membatasi hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal lainnya, seperti mengendarai binatang atau memakai pakaian.
- Pembatasan waktu atau tempat
Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau menambah waktunya, ia bertanggung jawab atas penambahan tersebut.
- Pembatasan ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan kelebihannya.


A. Arti, Landasan dan Rukun Gadai Ariyah
1. Arti Ar Rahn (Gadai)
Secara etimologi, rahm berarti الشبوت والدوام (tetap dan lama) yakni tetap atau berarti الحبسى واللزوم (pengekangan dan keharusan).
Menurut terminology syara’, rahn berarti :
حبسى شئ بحق منكن استفاؤه منه
Artinya :
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijaikan pembayaran dari barang tersebut”

Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn:
a. Menurut ulama syafi’iyah:
جعل عين وثيقة بدين يستوفى منها عند تعدروفائه
Artinya :
“Menjadikan suatu benda sebagai suatu jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berlangganan dalam membayar utang”

b. Menurut ulama Hanabillah
المال الذي يجعل وثيقة بالذين ليستوفىمن ثمنه ان تعدم استيفاؤه ممن هوله
Artinya :
“Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pemnbayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman”

2. Sifat Rahn
Secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad.
Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al qabdu). Sesuai kaidah لايتم التبرع الابالقبض (tidak sempurah tabarru, kecuali setelag pemegangan).

3. Landasan rahn
a. Al Qur’an
وان كنتم على سفرولم تجدواكاتبافرهان مقبوضه
Artinya :
“Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai). Sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”
(QS. Al Baqarah: 283)

b. As Sunnah
عن عاشة رع.ان رسول الله صم اشترى من يهودي طعاماورهنه درعامن حديد.
Artinya :
“Dari Aisyah r.a bahwa rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hukum Rahn
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan tapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai.
Firman Allah SWT: فلاهان مقبوضة pada ayat diatas adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut, dinyatakan:
Artinya :
“ Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya)”
(QS. Al Baqarah: 283)

5. Rukun Rahn dan Unsur-unsurnya
Rahn memiliki empat unsure, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), al murtahin (orang yang menerima), al Marhun (jaminan) dan al marhun nih (utang).
Menurut ulama hanafiyah rukun rahn adalah ijab dan qabul rahin dan al murtahin, sebagaimana pada akan yang lain. Akan tetapi akad, akad dalam rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Adapun menurut ulama selain hanafiyah, rukun rahn adalah shighat, aqid (orang yang akad), marhun dan marhum bih.

B. Syarat-syarat Rahn
1. Persyaratan aqid
2. Syarat Shigat
Adapun menurut hanafiyah berpendapat bahwa shigat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu.
Adapun menurut ulama selain hanafiyah. Syarat dalam rah nada yang sahih dan yang rusak. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga :
1) Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita
2) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi makanan tertentu, syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
3) Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang merugikan murtahin

3. Syarat marhun bin (utang)
a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
c. Hak atas marhun bih harus jelas
4. Syarat marhun (borg)
Ulama hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a. Dapat diperjual belikan
b. Bermanfaat
c. Jelas
d. Milih rahim
e. Bisa diserahkan
f. Tidak bersatu dengan harta lain
g. Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
5. Syarat kesempurnaan Rahn (memegang barang)
a. Cara memegang marhun
1. Atas seizing rahn
2. Rahin dan murtahin harus ahli dalam ahad
3. Murtahin harus tetap memegang rahim
b. Orang yang berkuasa atas borg
1. Syarat-syarat adl
2. Brog terlepas dari adl
Brog dapat lepas dari adl dengan alas an berikut:
a. Habisnya masa rahn
b. Rahn meninggal
c. Adl meninggal
d. Adl gila
e. Rahim melepaskan atau membatalkan brog
3. Hukum Adl
a. Adl harus menjaga brog sebagaimana menjaga miliknya
b. Adl harus tetap memegang brog sebelum ada izin dari yang melakukan akad untuk menyerahkan kepada orang lain
c. Jika brog rusak tanpa disengaja, kerusakan ditanggung oleh murtahin
d. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa Adl tidak boleh melepaskan atau membatalkan (menyerahkan) brog, sedangkan menurut syafi’iyah dan hanabilah. Adl bebas untuk melepaskannya.
6. Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat Rahn
a. Brog harus utuh
b. Brog yang berkaitan dengan benda lainnya
c. Gadai utang
d. Gadai barang yang didagangkan atau dipinjamkan
e. Mengandaikan barang pinjaman
f. Gadai tirkah (harta peninggalan jenazah)
g. Gadai barang yang cepat rusak
h. Menggadaikan kitab

C. Hukum Rahn dan Dampaknya
1. Hukum Rahn sahih/Rahn lazim
2. Dampak Rahn Sahih
a. Adanya utang untuk rahim
b. Hak menguasai brog
c. Menjaga barang gadaian
d. Pembiayaan atas brog
e. Pemanfaatan gadai
f. Tasharuf (mengusahakan) rahn,

LUQTHAH (Barang Temuan)
Luqthah (barang temuan) itu ialah barang yang dipungut ditempat atau daerah yang tidak dimiliki oleh orang; seperti barang yang terjatuh atau yang tertinggal dijalan atau disuatu tempat yang tidak dimiliki orang yang ditemukan orang.
Ada beberapa hadits yang akan dikemukakan untuk menjelaskan masalah barang pungutan atau barang temuan di jalan ini.
عن ٲنسرضى الله عنه قال : مررسول الله بتمرة الطر يق فقال : لولاانى ٲخاف ٲن تكون من الصدقةﻷكلتها
Artinya :
“Dari Anas r.a beliau berkata: Nabi Muhammad saw. Berjalan meliwati sebutir kurma di jalan, lalu beliau bersabda : Seandainya saya tidak khawatir tamar itu adalah dari sedeqah (zakat), maka sungguh saya memakannya. Muttafaq ‘alaih”
Hadits tersebut menunjukkan boleh mengambil sesuatu barang pungutan yang sedikit yang bermanfaat dan tidak wajib mengumumkannya serta boleh dimiliki setelah mengambil (memungutnya) itu. Menurut zhohir hadits tersebut boleh mengambil barang pungutan di jalan yang sedikit itu sekalipun pemiliknya diketahui. Ada orang yang berpendapat tidak boleh diambil kecuali diketahui pemiliknya. Barang pungutan yang diketahui pemiliknya tidak boleh diambil sekalipun sedikit sekali.
Sudah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. Meninggalkan barang temuannya itu ; Bagaimana beliau meninggalkannya padahal wajib atas kepala Negara (imam seperti beliau itu) untuk memelihara harta yang hilang, memelihara barang zakat dan membaginya kepada yang berhak menerimanya? Pertanyaan tersebut dijawab: Bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengambilnya; hanya saja beliau tidak memakannya karena hati-hatinya atau beliau sengaja meninggalkannya agar diambil oleh orang yang liwat di antara orang-orang yang halal barang sedeqah baginya. Tidak wajib bagi imam selain memelihara harta yang beliau ketahui pemiliknya. Dalam hadits tersebut terkandung anjuran untuk hati-hati memakan sesuatu yang ada kemungkinan haramnya.
Pelajaran yang terkandung di dalam hadits tersebut :
Dalam hadits tersebut ada beberapa pelajaran yang perlu diperhatikan tentang barang pungutan di jalan:
1. Boleh mengambil barang pungutan dijalan yang sedikit
2. Boleh memakan barang makanan pungutan itu jika ternyata halal, tidak boleh dimakan barang makanan yang diragukan halalnya
3. Nabi Muhammad saw haram memakan barang sedeqah (zakat)
Mengenai larangan memakan sesuatu yang meragukan halal dan haramnya itu dijelaskan dalam hadits berikut ini :
عن النعمان بن بشيررض ى الله عنهماقال : سمعت رسول الله يقول: وٲهوى النعمان بٳصبعيه ٳلى ٲذنيه : ان الحلال بين والحرام بين وبينهما مشتبهات لايعلمهن كثيرمن الناس فمن اتقى الشبها ت فقد استبرٲلدينه وعرضه ومن وقع فى الشبهات وقع فى الحرام : كالراعى يرعى حول الحلى يوشك ٲن يقع فيه ٲلاوان لكل ملك حمى. ٲلاوان حمى الله محارمه الاوٳن فى الجسد مضغةٳذ صلحت صلح الجسد كله وٳذا فسدت فسد الجسد كله. الاوهى القلب.
Artinya :
“Dari Nu’man bin Basyir r.a beliau berkata : Saya mendengar rasulullah saw bersabda : dan Nu’man mengangkat dua jari tangannya pada kedua telinganya : Sesungguhnya yang halal jelas dan yang harampun jelas; Dan diantara keduanya itu ada yang syubhat (yang meragukan halal dan haramnya); Kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat itu, maka sungguh dia sudah bersih dalam agamanya dan kehormatannya; Dan barang siapa yang terjerumus dalam syubhat itu maka dia sudah terjerumus dalam yang haram itu: Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat…“














IJARAH, ARIYAH, RAHN, DAN LUQATAH


Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah”FIQH MUAMALAH”


Dosen Pengampu :
A. Halil Thohir, M.HI









Disusun Oleh:
MAHFUD
9331 011 08


JURUSAN USHULUDDIN – PRODI PERBANDINGAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2009
A. Arti, Landasan dan Rukun Ijarah
1. Arti Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminology syara’. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a. Ulama Hanafiyah : عقدعلى المنافع بعوض
Artinya : “Akad atas suatu kemanfaatan dengan penganti”
b. Ulama Asy Syafiiyah
عقدعلى منفعه مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاءباحة بعوضى معلوم
Artinya : “ Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”

Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya. Domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya dan lain-lain.

2. Landasan Syara’
Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah di syariatkan dalam islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, berpendapat/beralasan bahwa ijarah adalah jual beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada) sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut. Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al Qur’an, As sunnah dan ijma’.
a. Al Qur’an
فان ارضعن لكم فٲتوهن اجورهن (الطلاق : ٦)
Artinya : “ Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu maka berikanlah upahnya” (QS. Thalaq:6)
As Sunnah
اعطوا الا جيراجرة قبل ان يجف عر قه
Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”
(Hr. Ibn Majah dari Ibn Umar)

b. Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia

3. Rukun Ijarah
Menurut Jumhur Ulama, rukun ijarah ada (4) empat, yaitu :
1. Aqid (orang yang akad)
2. Shigat akad
3. Ujrah (Upah)
4. Manfaat

B. Syarat Ijarah
1. Syarat terjadinya akad
2. Syarat pelaksanaan (an-nafadz)
3. Syarat Sah
a. Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
b. Ma’qud alaih bermanfaat dengan jelas
1) Penjelasan manfaat
2) Penjelasan waktu
3) Sewa bulanan
4) Penjelasan jenis pekerjaan
5) Penjelasan waktu kerja
c. Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
d. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
e. Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
f. Tidak mengambil manfaat bagi diri yang disewa
g. Manfaat ma’qud alaih sesuai dengan keadaan yang umum



4. Syarat Kelaziman
1. Ma’qud Alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
2. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad
a) Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah dalam memperkerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan sesuatu atau pekerjaan menjadi sia-sia
b) Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang disesuaikan harus dijual untuk membayar utang dan tidak ada jalan lain, kecuali menjualnya.
c) Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa kamar mandi, tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa harus pindah

C. Sifat dan Hukum Ijarah
1. Sifat ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang lazim yang didasarkan pada firman Allah SWT: اوفوابالعقود , yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuh akad.

2. Hukum ijarah
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatab bagi penyewa dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud alaih. Sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.

D. Akhir Ijarah
Sebenarnya, tentang penghabisan ijarah telah disinggung pada pembahasan terdahulu. Namun demikian, akan dijelaskan kembali,
1. Menurut ulama hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya orang yang berakad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk melanjutkannya
2. Pembatalan akad
3. Terjadinya kerusakan pada barang yang disewa
4. Habis waktu, kecuali kalau ada uzur
1. Pinjam-Meminjam (Ariyah)
a. Pengertian dan Landasan Ariyah
1) Pengertian Ariyah
Menurut etimologi, ariyah adalah ( العاريه ) diambil dari kata ( عار ) yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata ( التعاور ) yang sama artinya dengan ( التناول اولتناوب ) (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
a) Menurut terminology syara’ ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
تحليك المنفعة بغيرعوضى
Artinya :
“ Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”
b) Menurut ulama syafi’iyah dan Hambaliyah
اباحة المنفعة بلا عوض
Artinya :
“Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti”

Akad ini berbeda dengan hibah karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lai. Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.

2) Landasan Syara’
a) Al Qur’an
ونعاونواعلى البروالتقواى ( المائدة : ۲)
Artinya :
“Tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa”
(QS. Al Maidah:2)


b) As sunnah
Dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas, dikatakan bahwa rasulullah SAW telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.

b. Rukun dan Syarat Ariyah
1) Rukun Ariyah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qobul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu :
a) Mu’ir (peminjam)
b) Musta’ir (yang meminjamkan)
c) Mu’ar (barang yang dipinjam)
d) Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan

2) Syarat Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut :
a) Mu’ir berakal sehat
b) Pemegangan barang oleh peminjam
c) Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusah zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah
c. Hukum (ketetapan) akad ariyah
1) Dasar hokum Ariyah
Menurut kebiasaan (urf). Ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan majaz
a) Secara hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya
b) Secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan dan lain-lain, seperti telur, uang dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya.

2) Hak memanfaatkan barang pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir (orang yang member pinjaman).
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yaitu dimiliki oleh Musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah meminjamkannya secara terikat (muqayyad) atau mutlak.
a) Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak, yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah manfaatnya hanya untuk pinjaman saja atau dibolehkan oleh orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya orang yang meminjam binatang namun dalam akadnya tidak disebutkan yang berkaitan hal tersebut.
b) Ariyah Muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan barang yang dibatasi dari segi waktu dan martabatnya, baik disyari’atkan pada keduanya atau salah satunya.
- Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam
Jika Mu’ir membatasi hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal lainnya, seperti mengendarai binatang atau memakai pakaian.
- Pembatasan waktu atau tempat
Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau menambah waktunya, ia bertanggung jawab atas penambahan tersebut.
- Pembatasan ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan kelebihannya.


A. Arti, Landasan dan Rukun Gadai Ariyah
1. Arti Ar Rahn (Gadai)
Secara etimologi, rahm berarti الشبوت والدوام (tetap dan lama) yakni tetap atau berarti الحبسى واللزوم (pengekangan dan keharusan).
Menurut terminology syara’, rahn berarti :
حبسى شئ بحق منكن استفاؤه منه
Artinya :
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijaikan pembayaran dari barang tersebut”

Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn:
a. Menurut ulama syafi’iyah:
جعل عين وثيقة بدين يستوفى منها عند تعدروفائه
Artinya :
“Menjadikan suatu benda sebagai suatu jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berlangganan dalam membayar utang”

b. Menurut ulama Hanabillah
المال الذي يجعل وثيقة بالذين ليستوفىمن ثمنه ان تعدم استيفاؤه ممن هوله
Artinya :
“Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pemnbayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman”

2. Sifat Rahn
Secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad.
Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al qabdu). Sesuai kaidah لايتم التبرع الابالقبض (tidak sempurah tabarru, kecuali setelag pemegangan).

3. Landasan rahn
a. Al Qur’an
وان كنتم على سفرولم تجدواكاتبافرهان مقبوضه
Artinya :
“Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai). Sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”
(QS. Al Baqarah: 283)

b. As Sunnah
عن عاشة رع.ان رسول الله صم اشترى من يهودي طعاماورهنه درعامن حديد.
Artinya :
“Dari Aisyah r.a bahwa rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hukum Rahn
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan tapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai.
Firman Allah SWT: فلاهان مقبوضة pada ayat diatas adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut, dinyatakan:
Artinya :
“ Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya)”
(QS. Al Baqarah: 283)

5. Rukun Rahn dan Unsur-unsurnya
Rahn memiliki empat unsure, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), al murtahin (orang yang menerima), al Marhun (jaminan) dan al marhun nih (utang).
Menurut ulama hanafiyah rukun rahn adalah ijab dan qabul rahin dan al murtahin, sebagaimana pada akan yang lain. Akan tetapi akad, akad dalam rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Adapun menurut ulama selain hanafiyah, rukun rahn adalah shighat, aqid (orang yang akad), marhun dan marhum bih.

B. Syarat-syarat Rahn
1. Persyaratan aqid
2. Syarat Shigat
Adapun menurut hanafiyah berpendapat bahwa shigat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu.
Adapun menurut ulama selain hanafiyah. Syarat dalam rah nada yang sahih dan yang rusak. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga :
1) Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita
2) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi makanan tertentu, syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
3) Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang merugikan murtahin

3. Syarat marhun bin (utang)
a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
c. Hak atas marhun bih harus jelas
4. Syarat marhun (borg)
Ulama hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a. Dapat diperjual belikan
b. Bermanfaat
c. Jelas
d. Milih rahim
e. Bisa diserahkan
f. Tidak bersatu dengan harta lain
g. Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
5. Syarat kesempurnaan Rahn (memegang barang)
a. Cara memegang marhun
1. Atas seizing rahn
2. Rahin dan murtahin harus ahli dalam ahad
3. Murtahin harus tetap memegang rahim
b. Orang yang berkuasa atas borg
1. Syarat-syarat adl
2. Brog terlepas dari adl
Brog dapat lepas dari adl dengan alas an berikut:
a. Habisnya masa rahn
b. Rahn meninggal
c. Adl meninggal
d. Adl gila
e. Rahim melepaskan atau membatalkan brog
3. Hukum Adl
a. Adl harus menjaga brog sebagaimana menjaga miliknya
b. Adl harus tetap memegang brog sebelum ada izin dari yang melakukan akad untuk menyerahkan kepada orang lain
c. Jika brog rusak tanpa disengaja, kerusakan ditanggung oleh murtahin
d. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa Adl tidak boleh melepaskan atau membatalkan (menyerahkan) brog, sedangkan menurut syafi’iyah dan hanabilah. Adl bebas untuk melepaskannya.
6. Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat Rahn
a. Brog harus utuh
b. Brog yang berkaitan dengan benda lainnya
c. Gadai utang
d. Gadai barang yang didagangkan atau dipinjamkan
e. Mengandaikan barang pinjaman
f. Gadai tirkah (harta peninggalan jenazah)
g. Gadai barang yang cepat rusak
h. Menggadaikan kitab

C. Hukum Rahn dan Dampaknya
1. Hukum Rahn sahih/Rahn lazim
2. Dampak Rahn Sahih
a. Adanya utang untuk rahim
b. Hak menguasai brog
c. Menjaga barang gadaian
d. Pembiayaan atas brog
e. Pemanfaatan gadai
f. Tasharuf (mengusahakan) rahn,

LUQTHAH (Barang Temuan)
Luqthah (barang temuan) itu ialah barang yang dipungut ditempat atau daerah yang tidak dimiliki oleh orang; seperti barang yang terjatuh atau yang tertinggal dijalan atau disuatu tempat yang tidak dimiliki orang yang ditemukan orang.
Ada beberapa hadits yang akan dikemukakan untuk menjelaskan masalah barang pungutan atau barang temuan di jalan ini.
عن ٲنسرضى الله عنه قال : مررسول الله بتمرة الطر يق فقال : لولاانى ٲخاف ٲن تكون من الصدقةﻷكلتها
Artinya :
“Dari Anas r.a beliau berkata: Nabi Muhammad saw. Berjalan meliwati sebutir kurma di jalan, lalu beliau bersabda : Seandainya saya tidak khawatir tamar itu adalah dari sedeqah (zakat), maka sungguh saya memakannya. Muttafaq ‘alaih”
Hadits tersebut menunjukkan boleh mengambil sesuatu barang pungutan yang sedikit yang bermanfaat dan tidak wajib mengumumkannya serta boleh dimiliki setelah mengambil (memungutnya) itu. Menurut zhohir hadits tersebut boleh mengambil barang pungutan di jalan yang sedikit itu sekalipun pemiliknya diketahui. Ada orang yang berpendapat tidak boleh diambil kecuali diketahui pemiliknya. Barang pungutan yang diketahui pemiliknya tidak boleh diambil sekalipun sedikit sekali.
Sudah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. Meninggalkan barang temuannya itu ; Bagaimana beliau meninggalkannya padahal wajib atas kepala Negara (imam seperti beliau itu) untuk memelihara harta yang hilang, memelihara barang zakat dan membaginya kepada yang berhak menerimanya? Pertanyaan tersebut dijawab: Bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengambilnya; hanya saja beliau tidak memakannya karena hati-hatinya atau beliau sengaja meninggalkannya agar diambil oleh orang yang liwat di antara orang-orang yang halal barang sedeqah baginya. Tidak wajib bagi imam selain memelihara harta yang beliau ketahui pemiliknya. Dalam hadits tersebut terkandung anjuran untuk hati-hati memakan sesuatu yang ada kemungkinan haramnya.
Pelajaran yang terkandung di dalam hadits tersebut :
Dalam hadits tersebut ada beberapa pelajaran yang perlu diperhatikan tentang barang pungutan di jalan:
1. Boleh mengambil barang pungutan dijalan yang sedikit
2. Boleh memakan barang makanan pungutan itu jika ternyata halal, tidak boleh dimakan barang makanan yang diragukan halalnya
3. Nabi Muhammad saw haram memakan barang sedeqah (zakat)
Mengenai larangan memakan sesuatu yang meragukan halal dan haramnya itu dijelaskan dalam hadits berikut ini :
عن النعمان بن بشيررض ى الله عنهماقال : سمعت رسول الله يقول: وٲهوى النعمان بٳصبعيه ٳلى ٲذنيه : ان الحلال بين والحرام بين وبينهما مشتبهات لايعلمهن كثيرمن الناس فمن اتقى الشبها ت فقد استبرٲلدينه وعرضه ومن وقع فى الشبهات وقع فى الحرام : كالراعى يرعى حول الحلى يوشك ٲن يقع فيه ٲلاوان لكل ملك حمى. ٲلاوان حمى الله محارمه الاوٳن فى الجسد مضغةٳذ صلحت صلح الجسد كله وٳذا فسدت فسد الجسد كله. الاوهى القلب.
Artinya :
“Dari Nu’man bin Basyir r.a beliau berkata : Saya mendengar rasulullah saw bersabda : dan Nu’man mengangkat dua jari tangannya pada kedua telinganya : Sesungguhnya yang halal jelas dan yang harampun jelas; Dan diantara keduanya itu ada yang syubhat (yang meragukan halal dan haramnya); Kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat itu, maka sungguh dia sudah bersih dalam agamanya dan kehormatannya; Dan barang siapa yang terjerumus dalam syubhat itu maka dia sudah terjerumus dalam yang haram itu: Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat…“














IJARAH, ARIYAH, RAHN, DAN LUQATAH


Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah”FIQH MUAMALAH”


Dosen Pengampu :
A. Halil Thohir, M.HI









Disusun Oleh:
MAHFUD
9331 011 08


JURUSAN USHULUDDIN – PRODI PERBANDINGAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2009

Jumat, 04 Desember 2009

kumpulan puisi

Puisi

Hidup


Hidup ibarat kaca
kadang begitu rapuh
terkadang begitu angkuh
walaupun Ia pecah berserakan
tapi kan ada yang menyusunnya kembali utuh.

Redup

tak kuasa menahan derita
namun yang aku rasakan adalah pengorbanan
tapi kini telah hilang
bersama harapanku yang kau bawa pergi
kini harapan mulai meredup dan matapun telah hilang kebeningannya
bersama meredupnya sebuah harapan.

Harapan

Ya… allah
Kini telah kuarungi samudra kehidupan
Telah engkau temukan hamba pada kebenarang dan dosa
Tapi tak semuanya dalam hidayahmu
Tapi mjika aku adalah orang yang diantra mereka
Akhirilah perjalanan ini
TapI bila aku adalah orang yang dalam rahmatmu
Jadikanlah aku harapn bagi agamaku
Jadikanlah hambah kekasihmu diantara kekasih-MU
Jadikanlah hamba orang yang terpelihara
Seperti terpelihranya iman ahli-ahli suga
Yang mendiami tempat tertinggi dalam surga-Mu
Kupsrahkan padamu harapan yang ini
Ya…………….. Allah



Lukisan Sang Dewi

Ketika cinta menyapa
Hati manusia terus bertanya
Hati menjadi bahagia namun terkadang menyiksa
Cinta itu ibarat pijar namun wajahnya adalah lentera
Lentra yang selalu hidup dalam angan-angan
Bersama harapan kulukis
Wajahmu dihatiku
Yang kutau kau yang takkan
Pernah ada lagi dalam kehidupaku saat ini
Hanya kenangan yang mampu kulukis tentang dirimu
Tentang dewi yang selalu tersenyum dalam hati


Setitik

Dalam setitik aku mencari arti
Menjalani hidup yang sesingkat ini
Dalam langkah kutempatkan setitik harapan tentangmu
Tapi mungkinkah kau menempatkan aku dalam setitik bayangmu
Sebelum kau pergi tempatkanlah aku dalam setitik hatimu
Seperti aku yang selalu menempatkanmu dalam stitik harapan
Yang masih ada.

Filsafat Islam

Nama: Mahfud
Nim : 933101108
Jurusan Usuluddin
Prodi: Perbandingan Agama


Filsafat Islam
Pendapat al- Farabi tentang Jiwa dan Akal
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar Masedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti lskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di lran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir , Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam han'ya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin memajuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah :
1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu.
2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini. Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya falsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
Filosof besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796- 873 M) satu-satunya filosof Arab dalam Islam. la dengan tegas mengatakan bahwa antara falsafat dan agama tak ada pertentangan. Falsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selajutnya falsafat dalam pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen rasional. Menurut pemikiran falsafat kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama. Falsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah falsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari falsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang, tetapi wajib.
Dengan falsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars). Yang penting bagi falsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalarn benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals ). Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah juz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis.Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan falsafat Islam. Dalam hal ini Al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan, Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaan nya yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa.
Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan falsafat emanasi (al-faid, pancaran) dari Al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa. Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah gambaran berikut:
Akal l11 menghasilkan Akal IV dan saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan venus.
Akal VIII menghasilkan Akal IX dan merkurius.
Akal IX menghasilkan Akal X dan bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat filosof Islam adalah melekat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat emanasi Al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal l11 dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X. Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi, Ibn Sina dan filosof-filosof Islam yang menganut faham emanasi.
Alam dalam falsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan berfikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik AI-Ghazali. Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filosof-filosof Islam ada pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Falsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang diberikan Ibn Sina (980 -1037 M). Sama dengan AI-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra da1am yang berada di otak dan terdiri dari:
i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra.
ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi.
iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
v. Indra pengingat yangmenyimpan arti-arti itu.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: :
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berfikir manusia yang disebut akal itu. Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan (I).Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk rnenangkap artiarti murni. (2).Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti murni. (3).Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti murni (4). Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan memiliki filosof-filosof. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi. Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.
Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya, Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas, fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak. Dari faham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.
Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta diferensia (al-fasl). Sebagai seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.Pemurnian itu membawa Al-Farabi pula kepada falsafat emanasi yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena Tuhan dalam falsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang sains para filosof percaya pula kepada tidak berubahnya hukum alam. Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filosof lslam. figa, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu : 1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman. 2. Pembangkitan jasmani tak ada 3. Tuhan tidak rnengetahui perincian yang terjadi di alam.
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran, dalam pendapat al-Ghazali, karena qadim dalam falsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah : la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada faham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan.Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid, yang sebagaimana dilihat di atas para filosof mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filosof yang percaya bahwa alam ini qadim.Mengenai masalah kedua, pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin "Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini? Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya pertama kali". Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur'an, yang adalah wahyu dari Tuhan. Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam, juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat Al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.
Pengkafiran Al-Ghazali ini membuat orang di dunia lslam bagian timurdengan Baghdad sebagai pusat pemikiran, menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah falsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu sebelum zaman Al-Ghazali telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-Asy'ari (873-935), yang pada mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan faham Mu'tazilahnya dan menimbulkan, sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah, teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari. Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah, teologi Asy'ari bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal berikut :
1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah, sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan falsafi.
2. Karena akal lemah, manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa, yang belum bisa berdiri sendiri, tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan faham jabariah atau fatalisme, yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis.
3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari faham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam dalam teologi ini tak terdapat; yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam, selamanya membakar , tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan.
Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis, sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'taziiah. Sesudah al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filosof-filosof Islam. Di dunia Islam bagian Barat, yaitu di Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya, pemikiran filosofis masih berkembang sesudah serangan a1-Ghazali tersebut, Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah al- Wida' kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan menghidupkan pendapat Mu'tazilah, bahwa akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan mejauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusydlah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahufut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Albpg-Ghazali yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasijah Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai permulaan dalam zaman, konsep AI-Ghazali bahwa alam hadis, alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil.
Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan, Dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air. Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula, Kemudian la pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia' mengatakan pula, Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat ' bahwa langit dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air. Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan.
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filosof-filosof lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada", seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada", seperti yang dikatakan filosof-filosof. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun, menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari, tanah. Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada" tetapi dari sesuatu yang "ada", yaitu intisari tanah seperti disebut, oleh ayat di atas. Falsafat memang tidak menerima konsep. penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada", kata Ibn Rusyd tidak bisa berobah menjadi "ada", yang terjadi ialah "ada" berobah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis ). Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran falsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir . Dengan demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan.
Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat 47/8 dari surat Ibrahim menyebut Janganlah Sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan ( demikian pula) langit. Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi asat api, udara, air dan tanah kembali dari keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai dengan kandungan al-Qur'an.
Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filosof dalam falsafat mereka tentang qadimnya alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah pendapat filosof dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filosof dengan pendapat al-Ghazali. Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat immateri dan tak mempunyai pancaindra.
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut al-Tahafut bahwa filosof-filosof Islam tak menyebut hal itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahafut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada. Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan kaum filosof dalam pemikiran tentang tidak tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filosof, dan kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari filsafat mereka. Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana filosof-filosof Islam lain, menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil ada1ah meninggalkan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini aka1 mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1 dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan averroisme. Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat falsafat benar sungguhpun menurut agama sa1ah. Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasiona1 dan ilmiah di Eropa. Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tingga1 di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulaah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam bagian barat. Di dunia Islam bagian timur, kecuali di ka1angan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari pada ja1an falsafat, terus berkembang. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran, falsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berfikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan,dan lain-lain.

Jumat, 20 November 2009

TOLERANSI ANTAR AGAMA-AGAMA
Dalam prespektif Islam

A. Toleransi Dalam Memahami Pluralisme

Belakangan ini berkembang pembicaraan tentang multi kulturalisme. Biasanya untuk menyebut gerakan-gerakan yang mengatakan isu kemajemukan dan pengakuan hak-hak komunitas untuk berbeda dan hidup dalam keragaman. Namun yang mendukung sebutan multikulturalisme, menyatakan bahwa ada sesuatu yang baru yang belum diangkat dalam isu pluralisme, seperti isu hak-hak budaya dan hak-hak komonitas atas identitas cultural. Seperti persilangan identitas agama dan etnik. , namun apabila kita tidak memehami apa yang disebut dengan pluralisme maka kita akan terus mengklaim bahwa keragaman itu adalah salah satu yang harus dimusnahkan dalam kehidupan manusia, untuk itu kita sebagai generasi penerus bangsa harus mempertahankan keragaman budaya yang ada dinegara kita khususnya, maka dari itu diperlukan apa yang desebut dengan toleransi social, toleransi antar agama, dan itu harus kita miliki sebagai kaum muslimin, yang memilikki pemahaman tentang adanya konsep dalam Al-Quran yaitu (rahmatallil alamin) rahmat bagi seluruh alam, bagia mana konsep yang telah ada itu bisa terjalin sementara kita masih mempertahankan nilai nilai lama yang masih mengklaim bahwa keyakinannyalah yang paling benar.
Sebernya pehaman seperti itu tidak perlu menjadi dasar untuk tidak menerima adanya keragaman. Karena persoalan kerukunan adalah persoalan umat beragama yang bisa membangun sendri suasana kebersamaan dalam perbaedaan /(pluralisme), . Toleransi antar agam itu harus dibangun demi tercapainya masyarakat yang saling menghormati dan menghargai antar umat beragama,umat sudah memiliki mikanismenya sediri dalam membagun dan menciptakan suasana kerukunan karena perbadaan agama itu, dan kita sebagai umat islam harus menjaga apa yang telah menjadi kesepakatan mereka agar tidak terjadi konflik, sebagai bentuk dari toleransi. Dan dalam islam pun pluralisme / keragaman itu jelas diterangkan dalam Al-Quran surt al-Hujurat: 13.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ..............
Artinya:
“ hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu bangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Qs surat al- Hujurat: 13).
Maka dari itu kita haus menerapkan apa yang disebut dengan Ukuwah Basyriyah (persaudaraan kemanusiaan), dan Ukuwah Islamiyah (Pesaudaraan ke islamam). Nah kenapa konflik itu terjadi itu karena kurangnya pehaman kita terhadap ajaran agama kita sendiri, maka dari konsep tadi kita harus memiliki toleransi terhadap perbadaan yang ada sebagai bentuk untuk menumbuhkan kebersamaan kita dan persaudaran kita. Toleransi itu sangat di perlukan sebagai blue print, sebagai pedoman bahwa Tuhan menciptakan manusia kebumi ini diharapkan dapat menciptakan baying-bayang surga diatas permukaan bumi ini. Kalau manusia selalu berbeda pendapat itu yang di inginkan Tuhan adalah perbedan yang berkonotasi positif.
Tolerasi – pluralis yang ditampakkan Nabi dan generasi awal muslim itu merupkan salah satu karakeristik penyebaran islam diberbagai kawasan dunia, . Menyatunya pluralisme dalam ajaran islam bukan berarti tidak ada gerakan atau aliran yang mengedapankan ekskusivisme negative dalam sejarah umat islam.

B. Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama (Non-Muslim)
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
Sikap toleransi antar umat beragama bias dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. Menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita, .
Meskipun hal ini juga telah dinyatakan, tapi masih perluh ditambahkan bahwa selalu ada kecurigaan dan pasangka yang mendalam antara masyrakt kristen dan muslim. Karena kita memiliki sejarah bersama yang sangat sulit kita lupakan, yang menjadi bagian kolektif kita, ingat tentang perang salib yang banyak menelan korban jiwa baik dikalangan orang kriten maupun dikalanghan orang islam itu sendiri. Maka kaum muslimin di Indonesia curiga tentang niat orang kristen karena orang kristen datang melalui penjajahan. Tapi kecurigaan itu bisa hilang apa bila kita memiliki sikap toleransi terhadap mereka tapi kita harus selalu waspada, .
Manusia sebagai mahluk sosial (civil society) tdak akan terlepas dengan apa yang dinamakan interaksi sosial, dan interaksi itu tidak akan terjdi hanya pada masyarakat tertentu saja melainkan pada semua elemen masyarakat baik itu islam, kristen, hindu, buda dll. Disinilah diperlukan adnya tileransi agar interaksi tyersebut tidak menjadi kaku dan terjadi diskonikasi, dan interaksi itu sendiri merupakan merupakan gejala aplikasi hukum islam. Interaksi timbal balik dalam konsep islam, mengacu pada sember ajaran Al-Quran, yakni perinta bersilatur rahmi, bertaaruf, saling menolong (ta’wun), berlaku adil, berpinsip pada kemerdekaan (al-hurriyah), tanggung jawab bersama, (takaful al-ijtima’), kemanusiaan (insaniyah), toleransi (tasumuh), persaudaraan (ikhwaniyah), perdamaian (al-ishlah), dan tentu konsep pertama adalah prinsip ke tahuidan, . Jadi untuk melakukan interaksi sosial harus bisa memiliki toleransi sosial yang tinggi, tapa itu semua maka interaksi sosial tidak akan terjadi malah yang akan teradi kemungkinan besar adalah konflik seperti yang terjadi di poso beberapa tahun silam.

Minggu, 15 November 2009

TOLERANSI BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
oleh Mahfud

A. PENDAHULUAN
Belakangan ini, agama adalah sebuahnama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhr banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama agama (mengatasnamakan agama) sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan.
Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan social bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.
B. Pembahasan
B.1. Pengertian
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.[1] Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.[2]
Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau system keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
B.2. Penggunaan Kata “Toleransi dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh/toleransi secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.
C. KAJIAN TEORITIS
C.1. Konsep Toleransi dalam Islam
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adapt-istiadat, dsb.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islamtidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.[3]
C.2. Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim
Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:
Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Ayat di atas juga memerintahka orang mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia.



(QS.Al-Hujurat:12)
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih saying, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah).[4] Tetapi seandainya etrjadi perbedaan pemahaman al-Qur’an dan sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan ataupun tidak, maka petunjuk al-Qur’an adalah:
C.3. Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama (Non-Muslim)
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
Sikap toleransi antar umat beragama bias dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.
Mengenai system keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir surat al-kafirun
Bahwa perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedabgkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan:
Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan ummatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain setelah kalimat sawa’ (titik temu) tidak dicapai (QS. Saba:24-26):
Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS. Al-Mumtahanah: 8):
Al-Qur’an juga berpesan dalam QS 16: 125 agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan cara-cara yang bijak.
Menulis ulang tafsir Ibnu Kathir utk al Hujurat:12. Ayat yang semoga bisa mencegah sy utk berprasangka buruk ataupun berbicara buruk ttg seseorang, aamiin..

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang."

diketik dari rangkuman Tafsir Ibnu Katsir (buku 4 halaman 431 ...):

Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang beriman banyak berprasangka, yaitu melakukan tuduhan dan sangkaan buruk terhadap keluarga, kerabat, dan orang lain tidak pada tempatnya, sebab sebagian dari prasangka itu adalah murni perbuatan dosa. Maka jauhilah banyak berprasangka itu
sebagai suatu kewaspadaan. Diriwayatkan kepada kami dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab bahwa beliau mengatakan, "Berprasangka baiklah terhadap tuturan yang keluar dari mulut saudaramu yang beriman, sedang kamu sendiri mendapati adanya kemungkinan tuturan itu
mengandung kebaikan."

Imam Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Jauhilah berprasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta. Janganlah kamu meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik, saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara."

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Muslim serta Abu Dawud dari al-Atbi dari Malik. Dan, dalam hadits Anas bin Malik dikatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"...Seorang muslim tidak boleh memboikot (memusuhi) saudaranya lebih dari tiga hari."
Diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi, lalu beliau menyahihkannya dari hadits Sufyan bin Uyainah.

Firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain." Yakni, satu sama lain saling mencari-cari kesalahan masing-masing.

Firman Allah SWT selanjutnya, "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain." Ayat ini mengandung larangan berbuat ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertiannya oleh Rasulullah saw., sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata,
"Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?" Rasulullah menjawab," Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya."
Ditanyakan lagi, "Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?" Rasulullah saw menjawab, "Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan, maka kamu telah berbohong."

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi yang mengatakan, "Hadits ini hasan dan shahih." Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.

Ghibah adalah haram berdasarkan ijma'. Tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini kecuali bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti penetapan kecacatan oleh perawi hadits, penilaian keadilan, dan pemberian nasihat. Demikian pula ghibah yang sejenis dengan ketiga hal ini. Sedangkan selain itu, tetap berada di dalam pengHARAMan yang sangat KERAS dan LARANGAN yang sangat KUAT.

Itulah sebabnya Allah SWT menyerupakan perbuatan ghibah dengan memakan daging manusia yang sudah menjadi bangkai. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT, "Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?" Yaitu, sebagaimana kamu membenci hal ini secara naluriah, maka kamu pun harus membencinya berlandaskan syariat, karena hukumannya akan lebih hebat dari sekadar memakan bangkai manusia. Dan jalan pikiran ini merupakan cara untuk menjauhkan diri dari padanya dan bersikap HATI-HATI terhadapnya.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. bersabda
"Setiap harta, kehormatan, dan darah seorang muslim adalah haram atas muslim lainnya. Cukup buruklah seseorang yang merendahkan saudaranya sesama muslim."

Turut pula diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Abu Burdah al-Balawi bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Hai orang-orang yang beriman dengan lidahnya dan keimanan itu belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah kalian mengikuti aib mereka. Karena, siapa saja yang diikuti aib mereka maka Allah SWT akan mencari-cari aibnya. Dan, barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, maka Allah akan mempermalukan dia di rumah-Nya."

Diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda,

"Ketika aku diangkat ke langit, aku melewati suatu kaum yang berkuku tembaga yang mencakar wajah dan dada mereka." Aku bertanya, "Siapakah mereka itu, hai Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka itulah orang yang selalu memakan daging-daging orang lain dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka."

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Sa'id al-Khudri berkata (219), "Kami bertanya, 'Ya Rasulullah, ceritakanlah kepada kami apa saja yang telah engkau lihat pada malam engkau diperjalankah Allah.'
Rasulullah saw. menjawab, '... Kemudian Jibril membawaku pergi menuju sekelompok makhluk Allah yang sangat BANYAK, terdiri atas laki-laki dan wanita. Ada sejumlah orang yang menunggui mereka dan bersandar pada lambung salah seorang di antara mereka. Kemudian orang itu memotong lambung mereka sekerat sebesar sandal, lalu meletakkannya di
mulut salah seorang di antara mereka. Kemudian dikatakan kepadanya, 'Makanlah sebagaimana dulu kamu telah memakannya.' Dan dia mengetahui daging yang harus dimakannya itu berupa bangkai.
Hai Muhammad, kalau dia mengetahuinya sebagai bangkai, tentu dia sendiri sangat membencinya. Kemudian aku bertanya, 'Hai Jibril, siapakah mereka itu?' Jibril menjawab, 'Orang-orang yang mencela dengan perbuatan dan ucapan. Mereka adalah orang-orang yang suka mengadu domba.' Kemudian dikatakanlah, 'Apakah salah seorang di antara
kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah menjadi bangkai, tentu kalian akan membencinya.' Sedangkan, dia dipaksa untuk memakan dagingnya itu."

Demikian yang dituturkan perawi dalam hadits ini. Dan kami telah menampilkannya, bahkan mencantumkannya secara keseluruhan di awal surat al-Isra'. Puji dan syukur bagi Allah semata.

Al-Hafizh Abu Ya'la meriwayatkan dalam kisahnya yang menceritakan perajaman Ma'iz r.a., sampai dia mengatakan (218), "... Nabi saw. mendengar dua orang; yang satu berkata kepada yang lainnya, 'Tidakkah kamu melihat, sesungguhnya seseorang yang aibnya telah ditutupi oleh Allah ini, akan tetapi dia tidak membiarkannya tertutup sehingga dia dirajam seperti anjing?' Kemudian Nabi melanjutkan perjalanan sehingga
tatkala melewati bangkai keledai, beliau mengatakan, 'Di manakah si fulan dan si fulan itu. Turunlah dan makanlah bangkai keledai ini.'
Mereka berdua mengatakan, 'Semoga Allah mengampuni engkau, ya Rasulullah. Mana mungkin hewan ini dimakan?' Rasulullah saw., 'Kalau begitu, apa yang telah kalian peroleh dari saudaramu yang dipercakapkan tadi adalah lebih buruk untuk dimakan daripada bangkai ini. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya saudaramu itu sekarang berada di sungai-sungai surga. Dia berenang di sana."

Sanad hadits ini shahih.

Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Abdillah r.a.,
"Ketika kami sedang bersama Nabi tiba-tiba semerbaklah bau bangkai yang tengik. Kemudian Rasulullah saw. bertanya, 'Tahukah kamu, bau apakah ini? Inilah bau orang-orang yang menggunjing orang lain.'"

Firman Allah SWT, "Dan bertakwalah kepada Allah." Yaitu, pada perkara yang telah Dia perintahkan dan Dia larang kepada kamu. Dan jadikanlah Dia sebagai pengawas kamu


Daftar pustaka
Sulaiman al- Umar Nasyir,. tafsir surat AL-Hujurat. jakarta timur: pustaka alutsar, 2001
SOSIOLOGI MODEREN

Tokoh-tokohnya
a. John dewey, terkenal dengan filsafat instrumentalisnya, melihat etika dan ilmu. Teori praktek berfikir bertindak adalah satu kesatuan
b. Charles Horton cooly, trilogy bahasa, interaksi, dan pendidikan.
c. George Herber Mead, indifidu bukan budak masyarakat., karena indifidu yang bergerak aktif. (individu membentuk lingkungan).

Teori aliran sosiologi
• Teori fungsionalsme structural
• Neofungsionalisme
• konflik
1. Fungsionlisme structural adalah elemen didalam masyarakat memiliki peran bagi yang lain berdasarkan kegunaan dan kualitas yang berbeda.
2. Neofungsionalisme structural adalah merupakn kritik terhadap funsionalisme structural sejak tahun 60-80 an./ rangkaian kritik dari teori fungsional mencobah cakupan intelektual wujudnya adalah intelektual yang mencakup kultur (budaya).
Teori fungsional structural ada dua:
a. Teori stra tifikasi funsional stratifikasi uiniversal, keharusan fungsional. Kelas dalam masyarakat.
b. Kritik dari teori stratifikasi social hanya akan melanggengkan posisi-posisi istimewa orang-orang yang telah memiliki kekuasaan prestos dan uang.
3. Teori konflik dikembangkan adalah sebagai aksi dari teori fungsional structural, teori konflik setelah dikembangkan dari torinya george. Simel. Yang diambil dari teori maxia.
Sifat-sifat teeori interaksionisme simbolik
1. Manusia bertindak terhadap baenda berdasarkan “ARTI “ yang dimilikinya.
2. Asal muasal arti atas benda-benda tersebut yang muncul dari interaksi social yang dimiliki seseorang.
3. Makna yang demikian ini diperlakuakan melalui proses interpretasi yang digunakan oleh manusia.



Proses terbentuknya prilaku ada dua tahapan:
1. Pelaku mengindekasikan dirinya sendiri akan benda-benda terhadap mana dia akan beraksi.
2. Melalui perbaikan proses berkomonikasi engan diri sendiri, ini maka interpretasi akan menjadi sebuah masalah, yakni bagai mana kita memperlakukan “ Arti “ itu sendiri.

0ientsi Metodologis
1. Teknik eksplorasi, teknek dengan cara menggunakan membongkar seluruh “arti” dari makna benda bagi indifidu.
2. Inspeksi, pengamatan secara terus menerus terhadap objek.
Terbentuknya Masyarakat Menurut Teori Interaksionime Simbolik.
1. Manusia adalah objek dari dirinya sendiri pandangan mengenai “Diri sendiri” mengandaikan manusia kedalam sebuah bentuk ,ekanesme interaksi dengan dirinya sendiri untuk menghadapi dunia luar.
2. Tindakan manusia menghasilkan karakter yang berbeda sebagai hasil dari bentukan dari proses interaksi dan dirinya sendiri, untuk bertindak seorang indifidu harus mengetahui terlebih dahuluapa yang dia inginkan.
3. Dalam hal ini “ Mead” membagi interaksi social menjadi dua yaitu:
a. Interaksi non simbolik, bahwa manusia merespon secara langsung terhadap tindakan atau isyarat orang lain.
b. Interaksi simbolis, manusia berinteraksi masing-masing tindakan dan isyarat orang lain berdasarkan arti dari interpretasi yang dihasilkan.

Teori Coumte Dan Perubahan Budaya Dan Struktur Social
• Tahap theologies, fatisisme, politisme, monotisme.
a. Fatilisme: setiap benda memliki kekuatan khusus.
b. Politisme: percaya terhadap banyak dewa.
c. Monothisme: percaya terhadap satu tuhan.
Tahapan methapisik:., militeristik
Positipisthik:, eksploitasi alam , masyarakat industri.
Posposthipistik, humanisme.
Teori “kemajuan” coumte.
Teologis linier positiphistis. Pendukung teori coumte “pitirim sorokin” menjelaskan pemikiran organisme positiphistik. Memperhatikan analisis buidaya, norma, etika, untuk memahami kultur budaya. Namun dia menekankan saling berketergantungan antara pola-pola budaya sebagai suatu system interaksi dan kepribadian indifidu.
Budaya material dan non material
• Budaya material adalah peralihan dari masyarakat militeristik kepada industri. Begitu juga dengan kemajuan teknologi pelimpahannya materi hal ini dilihat sebagai manifestasi dari mentalitas idrawi “sorokin” sebagi sarana perwujudan mentalitas non materi. “ketinggalan budaya disebut dengan istilah lag untuk mengatasinya diberikan bentuk-bentukpengetahuan dan pandangan terhadap dunia.

Kamis, 12 November 2009

FENOMENA AGAMA SAAT INI
A. Pluarilisme Agama
Pluralisme adalah paham yang mengakui adanya pemikiran beragam agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kadang-kadang pluralisme juga diartikan sebagai paham yang menyatakan, bahwa kekuasaan Negara harus diserahkan kepada beberapa golonga.(kelompok), dan tidak boleh dimonopoli hanya loleh stu golongan. Merujuk pada definisi kedua Ini, Ernes Gillner menyebut masyarakat yang menjunjung tinggi hokum dan hak-hak indifidu sebagai masyartkat sipil (civil society). Gellner juga menyatakan baha civil society merupakan merupakan ide yang menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang mampu menmgimbangi kekuasaan Negara.
Kemunculan ide pluralisme terutama pluralisme agama didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu mulculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik hoprizontal, serta penindasan antar umat beragama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatas namakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adpun dilihat dari cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi kedalam dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mestui dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agamauniversal (global religion). Sedangkan kelompok yang kedua menggagas adanya kesatuan dalam transenden (unity of transenden). Dengan kata lain identitas agama-agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang m,emiliki aspek gnosis yang sama menurut kelompok yang kedua ini, semua agama pda dasarnya menyembah tuhan yang sama.
B. Pluralisma Agama Dan Koreksinya
Meskipun ide pluralisme baik yang beraliran agama global maupun kesatuan trnsenden ditujukan untuk meredam konflik akibat adanya keragaman agma, dan truth clsim, namun ide ini ujung-ujungnya malah menambah jumlah agama baru dengan truth claim yang baru pula. Wajr saja jika agama ini mendapat tantangan keras dari pemeluknya, terutama islam dan kaum muslimin. Oleh kerena itu pengusung pluralisma berusaha mencari teks-teks yang dapat memperkuat paham mereka,.mereka menganggap bahwa surat al- Hujurat: ayat 13. adalah salah satu bentuk kalau kaum muslimin mengakui adanya plurlisme. Surat al- Hujurat ayat 13.
Artinya: “ wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa bersuku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa disisi Allah.
C. Koreksinya
Pada dasarnya, ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan ide pluralisme agama yang diajarkan oleh kaum pluralis. Ayat ini hanya menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku dan bangsa. Jadi islam tidak mengakui adanya pluralisme agama tapi islam hanya mengakui adanya keberaagaman dalam suku, bangsa agama, dan budaya.

1. Pertnyaan saya kepada anda semua pembaca:

Setujukah anda jika pluralisme dijadikan sebagai klaim bahwa umat islam mengakui adannya banyak agama Sedangkan dalam surat yang dijdikan landasan oleh mereka islam hanya mengakui adanya keragaman?.