Sabtu, 27 Maret 2010

PANITIA DISKUSI RUTIN DAN MIMBAR BEBAS
(PA DISCUSSION)
DEWAN MAHASISWA (DEMA PS) PERBANDINGAN AGAMA
(STAIN) KEDIRI 2010

Jalan Sunan Ampel No. 07, Ngronggo Kediri 64127 Tlp. (0354) 689282

No : 01/DEMA-PA /17/03/2010
Lamp : -
Hal : UNDANGAN

Kepada yth :


Di Tempat
Assalamu'alaikum Wr. Wb

Teriring salam dan do'a semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Amin.

Sehubungan dengan adanya agenda rutin yang dilakukan oleh PA Discusión dibawah koordinasi DEMA PRODI PA yakni mimbar bebas dengan tema “ TERORISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM” maka dengan ini kami atas nama panitia mengundang Bapak/Ibu/Saudara (i) untuk hadar dalam acara ini yang Insaya Allah akan dilaksanakan pada :

Hari/tgal : Senin/29 Maret 2010
Waktu : 08:00 WIB- selesai
Tempat : Timur kantin (STAIN Kediri)
Acara : Mimbar bebas dan pengembaraan intelektual
Narasumber : 1. M. Mu’tashim Billah, M.Ag, (pakar hadist)
2. Syaiful Umas, S.Pdi (aktivis HTI)
Demikian undangan ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya kami sampaikan banyak terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Kediri, 17 Maret 2010
Ketua Sekretaris


Moh Mahfudz M.Sirojul Munir
Mengetahui
Ketua DEMA PA



Fahyudi


PANITIA DISKUSI RUTIN DAN MIMBAR BEBAS
(PA DISCUSSION)
DEWAN MAHASISWA (DEMA PS) PERBANDINGAN AGAMA
(STAIN) KEDIRI 2010

Jalan Sunan Ampel No. 07, Ngronggo Kediri 64127 Tlp. (0354) 689282

No : 01/DEMA-PA /17/03/2010
Lamp : -
Hal : UNDANGAN

Kepada yth :


Di Tempat
Assalamu'alaikum Wr. Wb

Teriring salam dan do'a semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Amin.

Sehubungan dengan adanya agenda rutin yang dilakukan oleh PA Discusión dibawah koordinasi DEMA PRODI PA yakni mimbar bebas dengan tema “ TERORISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM” maka dengan ini kami atas nama panitia mengundang Bapak/Ibu/Saudara (i) untuk hadar dalam acara ini yang Insaya Allah akan dilaksanakan pada :

Hari/tgal : Senin/29 Maret 2010
Waktu : 08:00 WIB- selesai
Tempat : Timur kantin (STAIN Kediri)
Acara : Mimbar bebas dan pengembaraan intelektual
Narasumber : 1. M. Mu’tashim Billah, M.Ag, (pakar hadist)
2. Syaiful Umas, S.Pdi (aktivis HTI)
Demikian undangan ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya kami sampaikan banyak terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Kediri, 17 Maret 2010
Ketua Sekretaris


Moh Mahfudz M.Sirojul Munir
Mengetahui
Ketua DEMA PA



Fahyudi
PANITIA DISKUSI RUTIN DN MIMBAR BEBAS
(PA DISCUSSION)
DEWAN MAHASISWA (DEMA PS) PERBANDINGAN AGAMA
(STAIN) KEDIRI 2010

Jalan Sunan Ampel No. 07, Ngronggo Kediri 64127 Tlp. (0354) 689282

No : 02/DEMA-PA /17/03/2010
Lamp : -
Hal : permohonan izin

Kepada yth :

KAJUR USHULUDIN
Di Tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Teriring salam dan do'a semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Amin.

Sehubungan dengan adanya agenda rutin yang dilakukan oleh PA Discusión dibawah koordinasi DEMA PRODI PA yakni mimbar bebas dengan tema “ TERORISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM” maka dengan ini kami atas nama panitia mohon izan untuk meliburkan PRODI PA demi kelancaran acara yang Insya Allah akan dilaksanakan pada :
Hari/tgal : Senin/29 Maret 2010
Waktu : 08:00 WIB- selesai
Tempat : Timur kantin (STAIN Kediri)
Acara : Mimbar bebas dan pengembaraan intelektual
Narasumber : 1. M. Mu’tashim Billah, M.Ag, (pakar hadist)
2. Syaiful Umas, S.Pdi (aktivis HTI)
Demikian permohonan izin dari kami, atas perhatian dan izinnya kami ucapkan terima kasih
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Kediri, 17 Maret 2010

Ketua Sekretaris


Moh Mahfudz M.Sirojul Munir
Mengetahui
Ketua DEMA PA



Fahyudi
PANITIA DISKUSI RUTIN DN MIMBAR BEBAS
(PA DISCUSSION)
DEWAN MAHASISWA (DEMA PS) PERBANDINGAN AGAMA
(STAIN) KEDIRI 2010

Jalan Sunan Ampel No. 07, Ngronggo Kediri 64127 Tlp. (0354) 689282

No : 03/DEMA-PA /17/03/2010
Lamp : -
Hal : permohonan menjadi narasumber

Kepada yth :

Bapak M. Mu’tashim Billah, M.Ag,
Di Tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Teriring salam dan do'a semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Amin.

Sehubungan dengan adanya agenda rutin yang dilakukan oleh PA Discusión dibawah koordinasi DEMA PRODI PA yakni mimbar bebas dengan tema “ TERORISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM” maka dengan ini kami atas nama panitia meminta kepada Bapak untuk sudi menjadi narasumber dalam acara kami yang Insya Allah akan dilaksanakan pada :
Hari/tgal : Senin/29 Maret 2010
Waktu : 08:00 WIB- selesai
Tempat : Timur kantin (STAIN Kediri)
Acara : Mimbar bebas dan pengembaraan intelektual
Narasumber : 1. M. Mu’tashim Billah, M.Ag, (pakar hadist)
2. Syaiful Umas, S.Pdi (aktivis HTI)
Demikian surat permohonan dari kamiu, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Kediri, 17 Maret 2010

Ketua Sekretaris


Moh Mahfudz M.Sirojul Munir
Mengetahui
Ketua DEMA PA


Fahyudi
PANITIA DISKUSI RUTIN DN MIMBAR BEBAS
(PA DISCUSSION)
DEWAN MAHASISWA (DEMA PS) PERBANDINGAN AGAMA
(STAIN) KEDIRI 2010

Jalan Sunan Ampel No. 07, Ngronggo Kediri 64127 Tlp. (0354) 689282

No : 03/DEMA-PA /17/03/2010
Lamp : -
Hal : permohonan menjadi narasumber

Kepada yth :

Bapak Syaiful Umar, S.Pdi
Di Tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Teriring salam dan do'a semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Amin.
Sehubungan dengan adanya agenda rutin yang dilakukan oleh PA Discusión dibawah koordinasi DEMA PRODI PA yakni mimbar bebas dengan tema “ TERORISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM” maka dengan ini kami atas nama panitia meminta kepada Bapak untuk sudi menjadi narasumber dalam acara kami yang Insya Allah akan dilaksanakan pada :
Hari/tgal : Senin/29 Maret 2010
Waktu : 08:00 WIB- selesai
Tempat : Timur kantin (STAIN Kediri)
Acara : Mimbar bebas dan pengembaraan intelektual
Narasumber : 1. M. Mu’tashim Billah, M.Ag, (pakar hadist)
2. Syaiful Umas, S.Pdi (aktivis HTI)
Demikian surat permohonan dari kamiu, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Kediri, 17 Maret 2010

Ketua Sekretaris



Moh Mahfudz M.Sirojul Munir
Mengetahui
Ketua DEMA PA



Fahyudi
FENOMENA HARI INI

Mengejutkan sekali tatkala akhir-akhir ini diberitakan bahwa gembong teroris telah mati tertembak di aceh, entahlah apakah hal itu meang benar-benar terjadi ataukah hanya sebuah pengalihan isu kasus century. Dan sekali lagi umat Islam tersakiti lagi dengan kenyataan yang menyudutkan Islam bahwa teroris yang mati terbunuh itu santer diberitakan mengatasnamakan jiha sebagai alasan-alasan tindakannya.
Agama islam sering dijadikan alamat atau sasaran utama ketika terjadi suatu ledakan (nom) katakanlah seperti di WTC, di sekitar jalur Gaza atau kita tidak usah jauh-jauh keluar negeri. Kasus bom bali tahun 2002 yang paling menggegerkan disusul oleh kasus bom Kuningan, Merriott, bahkan Bali bergoncang kembali semua itu selalu dialamatkan kepada umat muslim bahkan yang lebih parah mengalamatkannya pada Islam dengan berbagai doktrin yang ada dalam Islam. Katanya......
Yang menjadi pertanyaan mendasar atau bahakan menggelitik yaitu, apakah agama Islam mencetak teroris? Ataukah Islam sebagai sarang teroris. Tentunya jawabannya tidak sesimple ya ataupun tidak. Kalangan umat Islam sendiri dengan tegas menolak bahwa aganya dianggap sebagai sarang teroris, akan tetapi tuduhan-tuduhan bahwa agama Islam sebagai sarang teroris tidaklah surut.
Tuduhan-tuduhan tersebut seakin lama semakin santer terdengar dalam telinga kita dan kita tidak bisa selalu menutup mata bahwa kenyataanya pelaku-pelaku pengeboman yang terjadi selama ini memang beragama Islam ataupun mengatasnamakan Islam sebagai alasan mereka berbuat demikian.
Islam dijadikan pondasi alasan untuk melakukan tindakan-tindakan yang anarkis yang katanya hal itu sebagai jihad untuk melawan sebuah ketidakadilan yang ada dimasyarkat, baik itu berupa kapitalisme, maupun tindak anarkisme
Hal ini menjadi kajian menarik bagi kita yang nota-benenya sebagai generasi muda islam yang nantinya akan diberi amanat untuk mengemban misi-misi Islam yakni berdakwah demi kesejahteran umat manusia.
Suatu hal yang sangat ironis ketika banyak sekali permasalahan-permasalahan yang sangat kompleks yang saat ini dihadapi oleh umat Islam tetapi generasi mudanya, yang katanya mempunyai stratifikasi sosial yang paling tinggi yaitu sebagai mahasiswa tidak mampu untuk hanya sekedar menyumang gagasan yang brilian demi agama dan bangsanya.
Permasalahannya sekarang adalah bukannya mampu ataupun tidak mampu tetapi mau atau tidak mau generasi muda Islam turut andil dalam menata perdamaian yang ada didunia ini. Dan generasi muda adalah HARAPAN MAYARAKAT INDONESIA
NB : KRITIK DAN SARAN KAMI TUNGGU OK.>>>>>>>>>>>>
HUB :085645084219 (IPUNG) 085736393535 (YUDI) 085727164495 (MUNIR)
PANITIA DISKUSI RUTIN DAN MIMBAR BEBAS
(PA DISCUSSION)
DEWAN MAHASISWA (DEMA PS) PERBANDINGAN AGAMA
(STAIN) KEDIRI 2010

Jalan Sunan Ampel No. 07, Ngronggo Kediri 64127 Tlp. (0354) 689282

No : 05/DEMA-PA /17/03/2010
Lamp : -
Hal : PEMINJAMAN PERANGKAT

Kepada yth :

KASUBAG UMUM
Di Tempat
Assalamu'alaikum Wr. Wb

Teriring salam dan do'a semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Amin.

Sehubungan dengan adanya agenda rutin yang dilakukan oleh PA Discusión dibawah koordinasi DEMA PRODI PA yakni mimbar bebas dengan tema “ TERORISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM” maka dengan ini kami atas nama panitia memunta uzun untuk memunjamkan karpet dan soundsystem yang Insaya Allah akan dilaksanakan pada :

Hari/tgal : Senin/29 Maret 2010
Waktu : 08:00 WIB- selesai
Tempat : Timur kantin (STAIN Kediri)
Acara : Mimbar bebas dan pengembaraan intelektual
Narasumber : 1. M. Mu’tashim Billah, M.Ag, (pakar hadist)
2. Syaiful Umas, S.Pdi (aktivis HTI)
Demikian surat ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya kami sampaikan banyak terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Kediri, 26 Maret 2010
Ketua Sekretaris


Moh Mahfudz M.Sirojul Munir
Mengetahui
Ketua DEMA PA



Fahyudi


:


PANITIA DISKUSI RUTIN DN MIMBAR BEBAS
(PA DISCUSSION)
DEWAN MAHASISWA (DEMA PS) PERBANDINGAN AGAMA
STAIN KEDIRI 2010

Jalan Sunan Ampel No. 07, Ngronggo Kediri 64127 Tlp. (0354) 689282

PROPOSAL

1. PENDAHULUAN
Dewasa ini pemahaman keagamaan dikalangan anak muda yang nota-benenya sebagai generasi penerus bangsa dan agama mulai luntur. Hal ini berbanding terbalik dengan generasi mahaiswa di era tahun 70-an yang mana pada waktu itu cak Nur sebagai penggerak generasi muda mampu menelorkan gagasan-gagasan yang luar biasa brilian sehingga perkembangan intelektual dan pemahaman agama Islam pda waktu itu berkembang sangat pesat.
Oleh karena itu kami memulai dari prodi yang relative kecil ini berinisiatif untuk gebrakan intelektual yang bertujuan untuk merubah paradigma mahasiswa saat ini yang menjadikan kuliah sebagai ajang untuk mendapatkan pekerjaan dimasa depan.
Dengan forum diskusi yang kami namakan PA Discussion Prodi PA berupaya untuk membuka khazanah budaya intelektual yang telah lama hilang oleh budaya-budaya baru yang mulai menggerogoti pikiran-pikiran generasi muda yakni budaya hedonisme dan pragmatisme. Sebagai realisasi daripada gebrakan yang kami buat yaitu mengadakan mimbar bebas yang mana dalam diskusi mimbar bebas ini pikiran-pikiran baru yang relative masih segar mampu untuk dilontarkan, dan didalam mimbar bebas ini tidak tersekat-sekat oleh aliran atau paham apapun sehingga pembahasan lebih bersifat rasional dan obyektif dan tentunya disrtai skeptis yang sangat tinggi untuk kajian keilmuan.

2. NAMA KEGIATAN
Mimbar bebas dengan tema “TERORISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM”

3. TUJUAN KEGIATAN
Tujuan kegiatan ini adalah tidak lain:
1. Melakukan Kajian dan Penelitian Tentang Hubungan Tterorisme dan Islam
2. Menarik minat mahasiswa tentang kajian keilmuan Islam yang saat ini relatif termarjinalkan
3. Menumbuhkan rasa memiliki Islam dan memperkuat keyakinan



4. WAKTU DAN TEMPAT
Kegiatan ini dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Senin, 29 Maret 2010
Waktu : Pukul 08.00 – Selesai
Tempat : Sebelah timur kantin (STAIN Kediri)
Acara : Mimbar Bebas

5. PESERTA KEGIATAN
Peserta kegiatan akan diikuti oleh seluruh Mahasiswa STAIN Kediri serta undangan dari kampus lain.

6. ANGGARAN DANA
Terlampir

7. PENUTUP
Demikian proposal ini kami susun, atas perhatian dan kerja sama kami sampaikan banyak terima kasih.

Kediri, 10 Maret 2010


Ketua





M.Mahfudz Sekretaris





M.Sirojul Munir

Ketua DEMA PS PA





Fahyudi Ketua DEMA-J Ushuluddin





Zainal Arifin

MENGETAHUI

Ketua DEMA STAIN Kediri





Alfin Masykur a.n. Ketua STAIN Kediri
Pembantu Ketua III




Drs. Syamsul Huda, M. Ag
LAMPIRAN
Sehubungan dengan akan diadakannya forum mimbar bebas, maka kami selaku pengurus DEMA PS PA ingin mengajukan dana untuk kelancaran acara tersebut.
Dana tersebut akan digunakan guna memenuhi kebutuhan teknis lapangan dengan perincian sebagai berikut :

REKAPITULASI ANGGARAN DANA

KESEKRETARIATAN
Penggandaan Surat Menyurat Rp 50.000
Pamflet Rp 10.000

AKOMODASI
Transport Rp 30.000
Perlengkapan Rp. 30.000
Dokumentasi Rp. 40.000

KONSUMSI
Aqua 2 x Rp 20.000 Rp. 40.000
Teh dan Kopi Rp. 50.000
Snack @ 2000 X 50 Rp. 50.000
KEBUTUHAN LAIN
Fee Narasumber @ 150 X 2 Rp. 300.000

ESTIMASI DANA

KESEKRETARIATAN Rp. 60.000
AKOMODASI Rp. 100.000
KONSUMSI Rp. 140.000
LAIN-LAIN Rp. 300.000
JUMLAH TOTAL Rp. 600.000

Terbilang: Enam Ratus Ribu Rupiah
اللأ مور بمقا صدها
Tiap-tiap perkara tergntung pada maksudnya

Pengertian kaidah ini bahwa hokum yang berimplikasih terhdap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subyek hukum (muamakah) tergantung dari maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yag dilarang dalam syariat islam. Sebagai tambahan penjelasan perlu kami tegaskan, bahwa apabila tindakan seseorang meninggalkan hal-hal yang terlarang dilakukan dengan segala ketundukan karena ada larangn yang berlaku dalam beberapa syara’ maka tindakan tersebut memeperoleh pahala. Namun, apabila tindakan tersebut berkaitan dengan tabiatatau perasaan jijik terhadap sesuatu yang ditinggalkannya tersebut tanpa memperhatikan status pelarangannya, maka ia dinilai sebagai perkara biasa dan tabiat manusiawi yang tidak beroleh pahala.
Sebagai contoh, memakai bangkai tanpa adanya rukhshah (dispensasi hukum) status hukumnya adalah haram. Dalam hal ini, terdapat nash syara’ yang dengan tegas mengharamkan kunsumsi bangkai dan melarang tindakan tersebut. Sehingga apabila melanggar tindakan tersebut. Sehingga apabila melanggar akan memperoleh hukuman di dunia dan akhirat. Nash tersebut adalah firman Allah “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…..” dan seterusnya. Apabila seseorang mencegah diri untuk tidak melakukan tindakan tersebut (konsumsi) bangkai dengan harapan bahwa ia berpegang teguh pada nash dan menerapkan ketentuan yang berlaku didalamnya maka tindakan ini memperoleh ganjaran dari Allah dan pelaku mendapatkan pahala kebaikan yang ditambhkan pada daftar pahala-pahala kebaikannya di sisi-Nya. Berdeda halnya bila seseorang tidak memakan bangkai karena factor psikologis didalam dirinya yang merasa jjik atau tidak suka terhadap bangkai, tanpa memandang nash yang mengharamkannya atau dengan bahasa lain seorang pasti akan memakannya seandainya tidak merasa jijik maka tindakan tersebut tidak berpahala sama sekali.

Maka yang tersirat (mafhum) dari kaidah ini bahwa niat dalam hati yang bersifat abstrak yang tidak disertaqi dengan suatu tindakan lahiria yang menjelaskannya, baiak berupa perkataan atau perbuatan tidak berimplikasi pada suatu hukum syar’i duniawi. Sebab menurut makna yang tersurat (mathuq) kaidah tersebut hanya mengikat hukum hanya dengan perkara-perkara lahiria, baik perkataan maupun perbuatan, meskipun ia membatasianya berdasarkan niat dan tujuan diblik perkara-perkara tersebut.
Kaidah ini lebih lanjut menurunkan kaidah particular sebagai berikut:
1. Barang siapa menjual sesuatu atau menceraikan istrinya didalam hati tanpa mengucapkannya, maka dia tidak dihukumi telah melakukan transaksi jual beli atau perceraian, meskipun ia secara lugas menyatakan telah meniatkan demikian.
2. Barang siapa membeli lahan kosong dengan niat untuk mewakafkannya, maka ia tidak serta merta menjadi pewakaf kecuali ia telah mengucpkan ikrar wakaf, misalnya: “aku wakafkan harta ini untuk orang-orang fakir miskin atau kepada lembaga-lembaga social,” dan sejenisnya.
3. Jika orang yang di titipi barang (al-wadi’) mengambil barang titipan dengan niatan mengonsumsinya (mamakainya), lalu ia mengambilkan lagi barang tersebut ketempatnya sebelum sempat melakukan tindakan yang diniatkannya, amun ternyata barang tersebut rusak setelah dikembalikan ketempatnya dan setelah ia antarkan, sementara ia tidak melakukan tindakan pelanggaran maupun kelalaian terhadap barang tersebut maka ia tidak dikenakan kewajiban membayar jaminan pengganti.
4. Barang siapa berniat meng-ghashab (merampas) harta milik orang lain, lalu ia urung melakukannya, namun kemudian harta tersebut rusak ditangan pemiliknya,, maka ia tidak dianggap sebagai peng-ghashab (perampas) dan tidak dikenai kewajiban mengganti, meskipun ia secara lugas menyatakan diri berniat melakuakan hal tersebut.
Harus diperhatikan dalam konteks ini, jika seseorang melakukan suatu tindakan, maka disisni tidak perlu dipersoalkan niat orang tersebut saat melakuknnya atau maksud yang ingin dicapainya dengan tindakan tersebut, serta implikasi implikasi hukum yang diniatkannya berdasarkan niat atau maksud tersebut kecuali tindakan tersebut termasuk hal-hal yang memiliki ragam niat dan maksud didalmnya yang berbeda-beda.
Adapun tindakan tersebut hanya mengandung kemungkinan satu maksud tertentu, maka tidak ada alasan disini untuk membahas dan mempersoalkan niat atau maksud, bahkan tidak dapat diterima jika pelaku mengaku niat yang berbeda (dengan niat tunggal yang disepakati). Sebab pengakuan seperti ini dapat disimpulkan sebagai keinginan untuk melepaskan diri dari konsekuensi-konsikuensi hukum yang mengiringi perkataan atau perbutannya. Dan jalan (peluang) ini harus ditutup bagi orang yang hendak menempuhnya.
Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa lafal-lafal yang jelas (lugas) tidak membutuhkan niat untuk membangun konsekkuensi hukum duniawi yang mengikutinya. Dengan bahasa lain, pernyataan yang lugas(al-lafzh ashsahrih) tetap membawa konsekuensi-konsekuensi hukum, meskipun orang yang menyatakannya mengaku bahwa ia tidak bermaksud menyatakannya (melafalkannya) atau tidak menginginkan konsekuensi yang diakibatkan oleh ucapannya.
Sebagai contoh, barang siapa mengatakan pada seseorang:” telah kujual barang ini kepadamu dengan harga sekian”, lalu pihak kedua menyambutnya dengan menjawab: “aku terima”, maka terjadilah akad atau transaksi. Transaksi demikian disebut jual beli (tanpa mengandung kemungkinan makna yang lain) dengan segala konsekuensi hukumnya atas penjual maupun pembeli dan dengan segala ketentuan jual beli yang berlaku didalamnya. Disini penjual tidak dapat mengelak dan mengaku bahwa ia tidak bermaksud melakukan jual beli barang, melainkan hanya ingin menjual jasa atau manfaat barang, yakni menyewakannya, maupun interpretasi-interpretasi lain yang di kemukakannya untuk menghindar dari konsekuensi ucapannya.
Hal yang sama berlaku pada perkataan-perkataan yang dapat mengkibatkan penjatuhan hukuman tertentu terhadap pelaku jika diucapkan secara lugas, misalnya nasab atau qadzaf (tuduhan melakukan perzinaan). Di sini pelaku dapat dikenai sanksi hukuman jika tidak dapat membuktikan tuduhannya tanpa memandang pengakuannya bahwa ia sama sekali tidak punya niat untuk menyakiti korban dengan ucapannya tersebut. Contoh, jika seorang berkata pada seseorang, “Hai pezina, hai orang fasiq, atau hai anak hasil zina!” maka pernyataan tersebut dinyatakan sebagai kadzaf dengan segala konsekuensi hukum yang menyertainya, yaitu hukuman 80 kali cambukan. Disini tidak diterima pengakuan pelaku bahwa ia tidak bermaksud menuduh zina dalam arti bahasa, melainkan zina yang dimaksud adalah memandang bagian-bagian terlarang orang lain, yang juga dianggap zina berdasarkan hadist “kedua mata juga berzina”. Pengakuan ini tetap tidak dapat diterima, sebab maksud yang demikian adalah sesuatu yang samar / tersembunyi dan tak dapat kita lihat secara indrawi. Dari sini hukum harus dibangun perkara dan perkataan yang riil (nyata dan lugas) agar ketentuan hukum dan kaidah dapat berjalan secara baku, stabil, dan dapat dikenal luas.
Pebuatan-perbuatan yang hanya mengandung satu maksud tertentu juga dianggap seperti perkataan-perkataan yang lugas dari segi pembagian niat pelaku maupun penolakan klaim pengakuannya atas maksud yang di inginkannya. Misalnya kasus pembunuhan dan pencurian. Barang siapa membunuh seseorang dengan menggunakan alat sebagai mana umumnya dapat mematikan dan disertai unsur kesengajaan melakukan tindakan tersebut, seperti menikam orang lain dengan pisau yang tidak dipergunakan secara umum kecuali untuk membunuh (misalnya badik) kemudian orang yang di tikam terbuunuh, walaupun ia mengaku hanya ingin mencandai korban atau menakut-nakutinya, maupun alas an-alasan lain yang sejenis.
Begitu pula, barang siapa yang tertangkap basa ada didalam rumah orang lain tanpa izin penghuninya dan tanpa alas an jelas yang bisa diterimah, sambil membawa barang atau harta yang ada didalamnya, maka ia dianggap sebagai pencuri, meskipun ia berdalih tidak beraksud untuk mencuri, atau ingin menyelamatkan barang ketempat lain yang lebih aman dengan alasan bahwa ia tahu persis atau berperasanggka kuat bahwa barang yang diambilnya pasti akan rusak dilahap sijago merah yang sebentar lagi akan segera menjalar kedalam rumah.
Diantara lafal-lafal yang luas(sharih) ada yang menunjukkan makna yang tidak populer penggunaannya secara linguistic. Pnggunaan kata demikian dengan peniatan arti lain yang tidak populer mempengaruhi penjatuhan konsekuensi hokum atas ucapan tersebut secara agama (diyanatan, hubungan indifidual dengan tuhan) namun tidak berpengaruh secara legal formal (qadha’an). Barang siapa mengatakan kepada istrinya “kamu terlepas dari segala ikatan,” sementara yang dimaksudnya adalah memberikan kebebasan bertindak (bukan talak) maka secara agama tidak jatuh talak, namun secara legal formal dinilai jatuh talak, sebab Asy-Syari’ telah menetapkan bahwa guruan talak sama dengan talak yang serius (sungguh-sungguh). Kata gori pengecualian hokum tidak mencakup guruan didalamnya. Demekian pula dalam perkawinan, rujuk, sumpah, dan riddah. Karena itu, barang siapa yang berseloroh dengan nada bercanda bahwa ia seorang Yahusdi atau Nasrani maka ia telah murtad.
Sementara itu, untuk lafal-lafal yang tidak lugas (ghair sharih) dan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk beragam tujuan, maka setatus hukumnya berbeda-beda sesuai dengan maksud dan niat orang yang mengatakannya atau melakukannya. Termasuk dalam kategori ini adalah penggunaan shighat mudhari (present and future tense) tanpa disertai tanda yang memastikan signifikasinya untuk masa yang akan datang seperti huruf sin dan saufa dalam sebuah transaksi, misalanya “abi” dan asytari” Apabila sipenutur memakianya dengan pengertian “segera” (saat itu juga) maka terjadilah transaksi dengan penggunaan ungkapan tersebut. Namaun, apabila seorang berkata: “aku berniat trasaksi ini untuk masa yang akan datang,” maka ungkapan tersebut dianggap hanya sebagai janji semata.
Contoh lain dalam katagori ini adalah penggunaan kata-kata kiasan atau sindiran dalam talak. Seandainya seorang suami berkata pada istrinya: “kamu terlepas (mahlulah) dari segala ikatan yang mengikatmu,” maka pernyataan tersebut mengandung kemungkinan bahwa si istri terlepas dari ikatan perkawinan atau dengan kata lain talak.. Namun, dapat juga mengandung kemungkinan bahwa ia bebas bertindak dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat pribadi, rumah tangga, hubungan suami istri, ataupun yang lain. Dalam kondisi ini, penjelasan niat suami yang sebenarnya harus diketahui dan keputusan hokum pengadilan didasrkan pada niat yang sesungguhnya.
Adapun konteks perbuatan yang masuk dalam kata gori ini adalah jika seandainya seseorang memasang jerat atau perangkap, lalu ada binatang buruan yang jatuh tertangkap kedalamnya. Apa bila perangkap tersebut dipasangnya untuk menjerat binatang bururan, maka binatang yang tertangkap didalamnya menjadi miliknya sehingga orang lain yang mengambil binatang tersebut tanpa seizinnya ditetapkan sebagai perampasan hak milik orang lain (ghahib). Namun, apabila ia memasang jerat perangkap dengan tujuan dikeringkan setelah dicuci., maka ia tidak dianggap sebagai pemilik binatang yang jatuh tertangkap didalam jeratnya, sehingga binatang tersebut bisa diambil orang. Dalam hal ini, bukti-bukti pendukung (qarinah)-lah yang menjadi penentu.
Apa bila mengucapkan shighat suatu akad namun yang ia maksud adalah akad yang lain, maka yang menjadi penentu adalah niatnya, dan penjelasan atas niat tersebut dapat diterima jika lafal tersebut mengandung kemungkinan dua makna akad sekaligus bukit-bukti kontekstual yang mengarah pada maksud yang diinginkan penutur.
Termasuk dalam kata gori ini akad pernikahan dengan menggunakan lafal jual beli atau hibah dalam madzhab hanafi jika ia memang telah dipahami maksudnya sebagian nikah. Juga pada transaksi nyewa-menyewa dengan lafal jual beli manfaat (jasa) dan sebagainya. Dalam permasalahan ini, para ahli hokum islam merumuskan kaidah fiqih yang berbunyi:
العبرة فى العقود با القصود والمعانى لا بالأ لفا ظ والمبا نى
Yang dianggap berlaku dalam transaksi (akad) adalah maksud dan makna, bukan pernyataan dan bentuk verbal.
Berdasarkan kaidah ini, mereka menetapkan bahwa bai’ al-wafa’, yaitu system transaksi jual beli dimana penjual mengajukan persyaratan apabila ia dapat melunasi harga barang pada waktu tertetu, maka tidak ada transaksi diantara keduanya (dalam artian ia boleh mengambil kembali barangnya), merupakan transaksi gadai (rahn). Sebab maksud dalam transaksi terebut bukan menyerahkan kepemilikan barang kepada pemilik pengertian yang sama dengan gadai, sehingga berlakulah atasnya ketentuan hokum pengadaian. Dalam hal ini, petunjuk-petunjuk kontekstual (qarinah) yang dijadikan acuan untuk menjelaskan maksud dan tujuan yang sebenarnya.
Demikian pula jika seandainya seseorang membeli satu barang dengan system pembayaran berjangka (kredit, bi al-ajal) dan ia menyerahkan barang miliknya kepada si penjual sebagai titipan (amanah), maka transaksi demikian disebut rahn (gadai). Sementara jika ia memindahkan utangnya (hawalah) kepada orang lain sementara ia masih tetap menanggung utang, maka menurut madzhab Hanafi transaksi demikian dianggap sebagai kafalah jika memang orang yang dipindahi hutang mau mnerimanya, karena hawalah menurut madzhab Hanafi adalah pengalihan hutang dari tanggungan seseorang menjadi tanggungan orang lain. Begitu juga jika seorang meminjamkan uang, maka itu dalah utang piutang, (qardh), dan bukan trasaksi pinjam meminjam (ariyah). Sebab uang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengurangi atau bahkan menghabiskan nilainya. Sehingga bentuk pengembaliannya adalah dengan besar nilai uang yang sama. Dengan demikian, disini tidak berlaku ketentuan hokum ariyyah (mengembalikan barang dengan barang).
5. Andaikata seorang menyerahkan uang kepada orang lain, lalu dikemudian hari ia mengaku ia mengutangkannya (dengan system qardh), sementara si penerima mengklaimnya sebagai akad mudharabah, maka pendapat yang diambil adalah pendapat pihak yang kedua (yang menerima) disertai sumpah, dan qardh (akad utang-piutang) meniscayakan tanggungan (dhaman).
6. Apabila seorang istri menuntut atas pemberian nafkah atas sirinya yang telah diputus oleh pengadilan sebagai kewajiban suami dengan ketetapan hokum yang mengikat, sementara sisusmi mengaku telah mengirimkan nafkah kepadanya dan istri telah mengambilnya, namun keduanya sama-sama tidak memiliki bukti, maka pendapat yang diambil adalah pendapat istri disertai sumpah, sebab status asalnya adalah tidak adanya pengiriman nafkah.
7. Apabila seorang suami menceraikan istrinya dengan talaq ba’in beberapa saat sebelum ia meninggal dunia, lalu si istri mengaku bahwa percerainnya tersebut dilakuakan diasaat si suami sedang dalam keadaan sakit keras menjelang ajal, hingga iapun berhak mendapatkan harta warisan peninggalannya, sementara ahli waris mengklaim proses perceraiannya terjadi ketika masih dalam keadaan sehat sebelum sakit yang menyebabkan kematiannya, (sehingga ia tidak dapat dituding dan berkelit dan lari dari tanggung jawab), dan oleh karena si istri tidak berhak mendapatkan warisan, namun kedua pihak tidak ada bukti apapun, maka yang menjadi pertimbangan disini adalah pengakuan si istri desertai sumpahnya. Sebab baru diperselisihkan waktu terjadinya disini adalah talaq, maka ia waib disandarkan pada waktu terekat, yaitu sakit keras yang menatangkan kematian yang di klaim si istri selama pihak ahli waris tidak dapat menghadirkan bukti sebaliknya.
8. Jika orang yang mempunyai hak khiyar syarth hak membatalkan jual beliatau melanjutkannya dengan syarat dan batas waktu tertentu penerj), dalam transaksi jual beli memberikan pengakuan setelah berlalu waktu khiyair, bahwa ia telah membatalkan transaksi selama masa khiyar, sementara pihak lain mengklaim bahwa pembatalan transaksi habis setelah masa khiyar, sehingga akad jual beli menjadi keniscayaan, sementara kedua belah pihak tidak memiliki bukti, maka pendapat yang diambil adalah pandapat piahak yang menuntut tidk ada pembatalan transaksi disertai sumpahnya, sebab pembatalan disandarkan pada waktu yang terdekat dalam konteks diatas adalah pasca berlalunya masa khiyar.
9. Apabila seorang suami mejatuhkan talaq raj’i pada istrinya, lalu ia mengakui telah merujuk istrinya selama masa iddah (masa tungguh), namun si istri mengaku rujuk terjadi setelah habis masa iddah maka pengakuan si istri tidak dikabulkan disertai sumpahnya.
10. Apabila seorang al-wakil bi al-bai’ (daeler atau agen penjualan) mengaku telah memutuskan kontrak wakalah bahwa ia telah memjual barang yang telah dipasrahkannya dan menyerahkan uangnya kepada si pemberi kuasa wakalah (al-muwakkil) sebelum pemutusan kontrak, sementara al-muwakkil mengaku bahwa al-wakil menjualkn dan menyerahkannya selepas proses pemutusan kontrak maka memang jual beli telah berlangsung, maka pendapat al-muwakkil yang diambil disertai sumpahnya, sebab ia menolak tanggungan (dhaman) dan perinsip dasarnya adalah ketiadaan tangguangan.
Masih banyak lagi contoh-contoh kasus mikro (particular) yang tak terbatas jumlahnya dan kaidah-kaidah makro lainnya yang dapat dimasukkan dibawa kaidah umum ini, meski semuanya masuk dibawah katagori sumber hokum yang bersifat makro, umum dan berbasis ushuli (ad-dalil al-kulli al-am al-ushuli), yaitu istishhab al-ashl” yang telah disinggung dan di jelaskan di muka.

FILSAFAT ILMU TENTANG REVOLUSI SAINS

Nama : Mahfud
Nim : 9331 011 08
Jurusan : Ushuluddin
Prodi : Perbandingan Agama
Tugas : Filsafat Ilmu (Revolusi Sains)
Dosen pengampu : Muafiqillah


Revolusi Sains

Revolusi sains merupakan episode perkembangan nonkomulatif yang didalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya (sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan). Revolusi sains dibawa oleh kesadaran yang semakin tumbuh yang sering terbatas pada subdivisi yang sempit dari masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi berfungsi secara memadai dalam eksplorasi suatu aspek dari alam. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota seluruh masyarakat sains dan sebaliknya. Revolusi adalah jenis khusus perubahan yang melibatkan jenis tertentu rekonstruksi komitmen-komitmen kelompok (Paradigma dan struktur masyrakat) dan masih banyak karakteristik-karakteristik secara esensial seperti paradigma sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma dll.
Tahap – tahap Perkembangan Ilmu ( Progress Sains ).Skema progress sains menurut Khun adalah sebagai berikut : Pra paradigma - Pra Science - Paradigma Normal Science -Anomali - Krisis Revolusi -Paradigma Baru - Ekstra Ordinary Science- Revolusi.

Pengantar : Sebuah peran bagi sejarah.
Sejarah , jika dipandang lebih sebagai khasanah daripada sebagai anekdot atau kronologi, dapat menghasilkan transformasi yang menentukan dalam citra sains yang merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibuat sebelumnya , bahkan oleh para ilmuwan sendiri, terutama dari studi tentang pencapaian ilmiah yang tuntas seperti yang direkam dalam karya-karya klasik dan, yang lebih baru, dalam buku-buku teks yang dipelajari oleh setiap generasi ilmuwan yang baru untuk mempraktekkan kejujurannya.
Namun, dari sejarah pun konsep yang baru itu tidak akan datang jika data-data historis masih terus dicari dan diteliti dengan cermat terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh stereotip yang tidak historis dan diambil dari buku-buku teks sains. Jika sains itu kontelasi fakta, teori dan metode yang dihimpun dalam buku-buku tesk yang ada sekarang, maka para ilmuwan adalah orang-orang yang berhasil atau tidak, berusaha untuk menyumbangkan suatu unsur kedalam konstelasi tertentu itu. Perkembang sains menjadi suatu proses timbunan yang semakin membesar yang membentuk tekhnik dan pengetahuan sains.
Tetapi dalam tahun-tahun belakangan ini beberapa sejarahwan sains berpendapat bahwa memenuhi fungsi yang diberikan kepada mereka oleh konsep perkembangan dengan akumulasi itu semakin bertambah sulit. Sebagai pencatat rangkain proses pertambahan mereka menemukan bahwa riset tambahan itu menyebabkan lebih sukar, bukan lebih mudah, untuk menjawab pertanyaan seperti: kapan oksigen ditemukan ? siapa yang pertama kali menemukan konsep tentang penghematan energi?
Penemuan baru dalam teori juga bukan satu-satunya peristiwa ilmiah yang mempunyai dampak revolusioner terhadap para spesialisasi yang wilayahnya menjadi tempat terjadinya peristiwa itu. Komitmen –komitmen yang menguasai sains yang normal juga tidak hanya menetapkan jenis-jenis maujud (entity) apa yang dikandung oleh alam semesta, tetapi juga, dengan implikasi, maujud-maujud yang tidak dikandungnya.

2. Jalan Menuju Sains yang normal.

Dalam essai ini , sains yang normal berarti riset yang dengan teguh berdasar satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi pada praktek selanjutnya. Sekarang pencapaian-pencapaian itu diceritakan, meskipun jarang dalam bentuk aslinya, oleh buku-buku teks sains tingkat dasar maupun tingkat lanjutan. Buku- buku tersebut populer pada awal abad 19, buku-buku klasik termasyur karya : Physica karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemaeus, Principda dan Opticks karya Newton, Electricity karya Franklin, Chemistery karya Lavoisier, dan geology karya Lyell. Mereka bisa berbuat demikian karena sama-sama memiliki karateristik yang esensial. Pencapaian mereka cukup baru, dan belum pernah ada sebelumnya.
Pencapaian yang turut memiliki kedua karateristik ini selanjutnya akan saya sebut “Paradigma”, istilah yang erat kaitannya dengan “ sains yang normal “. Dengan memilih istilah ini saya bermaksud mengemukakan bahwa beberapa contoh praktek ilmiah nyata yang diterima – contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan intrumentasi – menyajikan model-model yang daripadanya lahir tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Karena dalam essay ini konsep paradigma akan sering menggantikan berbagai gagasan yang dikenal, maka lebih banyak yang perlu dikatakan tentang alasan penggunaannya.
Pemisahan bidang-bidang yang didalamnya telah terdapat paradigma yang mantap sejak zaman prasejarah, seperti matematika dan astronomi, dan juga bidang-bidang yang muncul dengan pembagian dan penggabungan ulang, seperti biokimia, keadaan diatas merupakan kekhasan historis.Namun sejarah juga mengemukakan beberapa alasan bagi kesulitan yang dijumpai di jalan itu. Dalam ketiadaan paradigma atau calon paradigma, semua fakta yang mungkin dapat merupakan bagian dari perkembangan sains tertentu cenderung tampak sama relevannya.

3. Sifat Sains yang normal

Dalam penggunaannya yang telah mapan, paradigma adalah model atau pola yang diterima, dan aspek maknannya itu telah memungkinkan, karena tidak memiliki tidak memiliki kata yang lebih baik untuk mengambil paradigma, bagi keperluan sendiri disini. Akan tetapi tidak lama lagi akan jelas bahwa pengertian model dan pola yang memungkinkan pengambilan paradigma itu tidak sama benar dengan pengertian yang biasa digunakan untuk mendefinisikan Paradigma. Dalam penerapan yang baku ini, paradigma berfungsi dengan memperbolehkan replikasi contoh-contoh yang masing-masing pada prinsipnya dapat menggantikannya. Di pihak lain, dalam sebuah sains paradigma jarang merupakan obyek dari replikasi, akan tetapi , seperti keputusan yudikatif yang diterima dalam hukum tak tertulis, ia adalah objek bagi pengutaraan dan rincian lebih lanjut dalam keadaan yang baru atau lebih keras.
Untuk mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi, kita harus ingat betapa sangat terbatasnya suatu paradigma, baik dalam cakupannya maupun dalam ketepatannya, pada saat pertama kali muncul. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil darpada saingannya dalam memecahkan beberapa masalah yang mulai diakui oleh kelompok pemraktek bahwa masalah-masalah itu rawan.
Tiga fokus penyelidikan sains yang aktual yaitu :
- Pertama adalah kelas fakta-fakta yang telah diperlihatkan oleh paradigma bahwa sangat menyingkapkan sifat tertentu.
- Kedua yang biasa tetapi lebih kecil dari penetapan-penetapan fakta ditujukan kepada fakta-fakta yang, meskipun sering tanpa banyak kepentingan hakiki, dapat dibandingkan secara langsung dengan prakiraan-prakiraan teori paradigma.
- Ketiga adalah yang ditujukan untuk mengartikulasikan suatu paradigma. Eksperimen ini, lebih dari yang lain-lain, dapat menyerupai eksplorasi, dan terutama sangat sering digunakan dalam periode-periode itu dan dalam sain-sains yang lebih banyak berurusan dengan aspek-aspek kualitatif daripada aspek-aspek kuantitatif dari regularitas alam.

4. Sains Normal sebagai pemecah teka-teki

Pada abad ke 18 , misalnya hanya sedikit perhatian yang diberikan kepada eksperimen-eksperimen yang mengukur tarikan listrik dengan piranti seperti neraca. Karena memberikan hasil yang konsisten maupun yang sederhana, eksperimen-eksperimen itu tidak bisa digunakan untuk mengartikulasikan paradigma yang menurunkannya. Oleh sebab itu, eksperimen-eksperimen itu tetap merupakan kenyataan yang tidak berhubungan dan tidak dapat dihubungkan dengan kemajuan yang berlanjut dalam riset kelistrikan.
Mengantarkan pada masalah riset yang normal kepada kesimpulan adalah mencapai apa yang diantisipasi dengan suatu cara baru, dan hal ini memerlukan pemecahan segala jenis teka-teki instrumental, konseptual dan matematis yang rumit. Orang yang berhasil membuktikan bahwa ia adalah seorang pakar pemecah teka-teki, dan tantangan teka-teki itu merupakan bagian penting dari apa yang biasanya mendorongnya.
Meskipun demikian , individu yang terlibat di dalam masalah riset yang normal itu hampir tidak pernah mengerjakan yang manapun diantara hal-hal ini. Begitu terlibat, motivasinya agak berbeda jenisnya. Yang kemudian menantangnya ialah keyakinan bahwa, jika ia cukup terampil, ia akan terampil memecahkan teka-teki yang belum pernah dipecahkan atau dipecahkan lebih sempurna oleh siapapun.
Adanya jaringan komitmen yang kuat ini, yang konseptual, teoritis dan instrumental, dan metodologis, merupakan sumber utama metafora yang menghubungkan sains yang normal kepada pemecahan teka-teki. Karena ia menyajikan kaidah-kaidah yang mengatakan kepada pemraktek spesialisasi yang telah matang seperti apa dunia dan sainsnya itu, pemraktek dengan yakin memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah esoterik yang didefinisikan baginya oleh pengetahuan yang ada dan oleh kaidah-kaidah ini.

5. Keunggulan Paradigma

Penyelidikan historis yang cermat terhadap suatu spesialitas tertentu pada masa tertentu pada masa tertentu menyingkapkan seperangkat keterangan yang berulang-ulang dan kuasistandar tentang berbagai teori dalam penerapan konseptual, observational, dan instrumental. Inilah paradigma-paradigma masyarakat yang diungkapkan dalam buku-buku teks, ceramah-ceramah, dan praktek-praktek laboratoriumnya. Meskipun kadang-kadang terdapat ambiguitas, paradigma-pardigma masyarakat sains yang matang bisa ditentukan dengan relatif mudah. Dan memang kehadiran suatu paradigma tidak perlu menyiratkanpun bahwa ada seperangkat kaidah yang lengkap.
Paradigma – paradigma bisa lebih unggul, lebih mengikat, dan lebih lengkap darpada perangkat manapun dari kaidah-kaidah untuk riset, yang tidak diragukanpasti disarikan dari paradigma-paradigma itu.

6. Anomali dan munculnya penemuan Sains.

Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir jika teori paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang diharapkan. Pengasimilasian suatu fakta jenis baru menuntut lebih dari penyesuaian tambahan pada teori, dan sebelum penyesuaian itu selesai, sebelum ilmuwan itu tahu bagaimana melihat alam dengan cara yang berbeda, fakta yang baru itu sama sekali bukan fakta ilmiah.

7. Krisis dan munculnya teori sains

Perubahan yang melibatkan penemuan-penemuan ini semuannya destruktif dan sekaligus konstruktif. Namun penemuan atau bukan, satu-satunya sumber paradigma destruktif – kostruktif ini berubah. Kita akan mulai meninjau perubahan yang serupa, tetapi biasanya lebih luas, yang disebabkan oleh penciptaan teori-teori baru.
Dalam memahami munculnya teori-teori baru, tidak bisa tidak kita pun akan memperluas pandangan dan pemahaman kita tentang penemuan. Meskipun demikian kesalinglingkupan itu bukan identitas. Jika kesadaran akan anomali memainkan peran dalam munculnya jenis-jenis gejala yang baru, maka tidak akan mengejutkan bahwa kesadaran yang serupa, tetapi lebih mendalam, merupakan prasarat bagi perubahan teori yang akan diterima. Karena menuntut paradigma secara besar-besaran dan perubahan-perubahan besar dalam masalah-masalah dan tehnik-tehnik sains yang normal. Munculnya teori-teori itu pada umumnya didahului oleh periode ketidakpastian yang sangat tampak pada profesi. Para filsuf sains telah berulang-ulang mendemonstrasikan bahwa terhadap sekelompok data tertentu selalu dapat diberikan lebih dari satu konstruksi teoritis. Sejarah sains menunjukkan bahwa, terutama pada tahap-tahap awal perkembangan suatu paradigma baru , bahkan tidak begitu sulit menciptakan alternatif seperti itu.

8. Tanggapan terhadap krisis

Kita asumsikan bahwa krisis merupakan prakondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Meskipun mereka mungkin kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan alternatif-alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis. Artinya mereka tidak melakukan anomali-anomali sebagai kasus pengganti meskipun dalam perbendaharaan kata filsafat sains demikian adanya.
Akan tetapi, ini memang berarti-apa yang akhirnya akan menjadi masalah pokok – bahwa tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan menolak teori yang semula diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada perbandingan teori itu dengan dunia. Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain, dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama lain.
Sains yang normal berupaya dan harus secara berkesinambungan berupaya membawa teori dan fakta kepada kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu dapat dengan mudah dilihat sebagai penguji atau pencari pengukuhan dan falsifikasi. Ini berarti bahwa jika suatu anomali akan menimbulkan krisis, biasanya harus lebih daripada sekadar sebuah anomali. Selalu ada kesulitan dalam kecocokan paradigma alam; kebanyakan diantara cepat atau lambat diluruskan, seringkali dengan proses-proses yang mungkin tidak diramalkan.
Kadang-kadang sains yang normal akhirnya ternyata mampu menangani masalah yang membangkitkan krisis meskipun ada keputusan pada mereka yang melihatnya sebagai akhir dari suatu paradigma yang ada. Transisi dari paradigma dalam krisis kepada paradigma baru yang daripadanya dapat muncul dari tradisi baru sains yang normal itu jauh dari proses kumulatif yang dicapai dengan artikulasi atau perluasan paradigma yang lama.antisipasi sebelumnya bisa membantu kita mengenal krisis sebagai pendahuluan yang tepat bagi munculnya teori-teori baru, terutama karena kita telah meneliti versi kecil-kecilan dari proses yang sama dalam membahas munculnya sebuah penemuan.
Paradigma baru sering muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang jauh atau telah diakui dengan tegas. Bertambah banyaknya artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun, pengungkapan ketidakpuasan yang nyata, semuannya merupakan gejala transisi dari riset yang normal kepada riset istimewa. Gagasan sains yang normal lebih bergantung eksistensi semua ini ketimbang pada revolusi-revolusi.

9. Sifat dan perlunya Revolusi Sains

Pada saat masyarakat terbagi kedalam dua kelompok atau partai yang bersaing, yang satu berusaha mempertahankan konstelasi kelembagaan yang lama dan yang lain berupaya mendirikan yang baru. Dan jika polarisasi itu terjadi, maka penyelesaian secara politis gagal. Karena mereka berselisih tentang matrik kelembagaan tempat mencapai dan menilai perubahan politik, karena tidak ada supraintitusional yang diakui oleh mereka untuk mengadili perselisihan revolusioner ini menggunakan bantuan tehnik-tehnik persuasi massa, seringkali dengan melibatkan kekuatan. Meskipun revolusi mempunyai peran yang vital dalam evolusi lembaga-lembaga politik, peran ini bergantung pada apakah revolusi itu merupakan peristiwa yang sebagian ekstrapolitis dan ekstraintitusional.
Seperti dalam revolusi politik, dalam pemilihan paradigmapun tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga tehnik-tehnik argumentasi persuasif dan efektif didalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu.
Sesuatu yang bahkan lebih fundamental daripada standar-standar dan nilai-nilai, bagaimanapun juga dipertaruhkan. Sampai disini saya berargumentasi hanya bahwa paradigma-paradigma adalah esensial bagi sains. Sekarang saya ingin memperagakan suatu pengertian bahwa paradigma-paradigma itu esensial bagi alam.

10. Revolusi sebagai perubahan atas dunia

Yang lebih penting lagi , selama revolusi para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda ketika mereka menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenalnya untuk menengok tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Dalam sains, jika perubahan persepsi menyertai perubahan paradigma, kita tidak mengharapkan para ilmuwan secara langsung menyokong perubahan ini, ketika memandang bulan, orang yang beralih kepada Copernicanisme tidak berkata ,” saya biasanya melihat planet, tetapi sekarng saya melihat satelit,” ungkapan itu akan menyiratkan pada sistem Ptolomeus pernah benar. Alih-alih orang yeng beralih ke Astronomi baru berkata, “ Dulu saya menganggap bulan sebagai planet, tetapi saya keliru.” Pernyataan itu memang berulang setelah terjadi revolusi sains. Jika hal itu biasanya menyamarkan perubahan pandangan ilmiah atau transformasi mental yang lain yang efeknya sama, kita tidak bisa mengharapkan kesaksian langsung tentang perubahan itu. Akan tetapi, kita harus mencari bukti tak langsung atau bukti berupa prilaku yang oelh ilmuwan dengan paradigma baru terlihat berbeda dari yang telah dilihatnya sebelum itu.

11. Tak Tampaknya revolusi

Sampai disini saya telah mencoba memperagakan revolusi-revolusi dengan ilustrasi, dan contoh-contohnya dapat dilipat gandakan sampai tingkat yang memuakkan. Akan tetapi, jelas bahwa kebanyakan diantarannya, yang dengan sengaja dipilih karena sudah dikenal, biasanya dipandang bukan sebagai revolusi, melainkan tambahan kepada pengetahuan sains.
Namun, sebagai wahana pedagogis untuk melestarikan sains yang normal, buku teks harus ditulis ulang seluruhnya atau sebagian apabila bahasa, struktur masalah, atau standar sains yang normal berubah. Singkat kata, buku teks harus ditulis ulang setelah revolusi sains dan, setelah ditulis ulang, mau tak mau ia akan menyamarkan bukan hanya peran, melainkan juga adanya revolusi yang menghasilkannya. Kecuali jika masa hidupnya pribadi mengalami revolusi, kesadaran historis ilmuwan yang berkarya maupun orang awam pembaca kepustakaan buku teks hanya memperluas akibat revolusi yang paling baru dalam bidangnya.
Lebih dari aspek manapun dari sains, bentu pedagogis itu lebih menekankan citra kita tentang sifat sains dan tentang peran penemuan dan penciptaan dalam kemajuan.
12. Pemecahan Revolusi

Buku-buku teks yang baru saja kita bahas hanya dihasilkan sebagai akibat revolusi sains. Mereka merupakan dasar tradisi baru sains yang normal. Tak dapat dihindarkan pada masa-masa revolusi nampaknya keyakinan tangguh dan bandel, dan kadang-kadang memang menjadi demikian. Akan tetapi, ia juga suatu kelebihan. Keyakinan yang sama itulah yang memungkinkan adanya sains yang normal atau sains yang memecah teka-teki. Dan hanya yang melalui sains yang normallah masyarakat profesional para ilmuwan berhasil, pertama dalam memanfaatkan lingkup potensial dan petisi paradigma yang lama, dan kemudian dalam mengisolasi kesukaran melalui studi yang bisa memunculkan paradigma baru.
Ini tidak menyatakan bahwa paradigma baru pada akhirnya meraih kemenangan melalui estetika mistik. Sebaliknya, sangat sedikit orang yang meninggalkan tradisi hanya karena alasan-alasan ini. Seringkali mereka yang berbalik itu disesatkan. Akan tetapi jika suatu paradigma bagaimanapun harus menang, ia harus memperoleh beberapa pendukung, yakni orang-orang yang akan mengembangkannya sampai titik ketika argumen-argumen yang keras kepala itu dapat dibuat dan dilipat gandakan.

13. Kemajuan melalui revolusi

Mengapa kemajuan itu merupakan keuntungan yang dicadangkan hampir eksclusif bagi kegiatan yang kita sebut sains? Jawaban yang paling biasa atas pertanyaan itu adalah telah ditolak dalam tubuh esai ini. Kita harus menyimpulkannya dengan bertanya apakah dapat ditemukan pengganti.
Kita harus belajar menyadari apa yang biasanya kita anggap efek itu sebagai suatu penyebab. Jika kita dapat melakukannya, frase-frase seperti “ kemajuan sains” dan “Objektivitas sains” akan menjadi tampak seolah-olah sebagian dibesar-besarkan. Sebenarnya, satu aspek dari pleonasme itu baru saja dilukiskan.
Namun, jika dipandang dari dalam suatu masyarakattersendiri yang mana saja , apakah masyarakat ilmuwan atau non ilmuwan, hasil dari karya yang kreatif yang berhasil itu adalah kemajuan.
Paragrap terakhir menunjukkan arah , yang saya percaya pemecahan yang lebih baik bagi masalah kemajuan sains harus dicari. Barangkali mereka memberi petunjuk bahwa kemajuan sains itu tidak benar-benar seperti yang kita anggap. Akan tetapi kesemertaan mereka menunjukkan bahwa suatu jenis kemajuan akan memberi karakter pada kegiatan sain selama kegiatan itu bertahan. Dalam sain tidak perlu ada kemajuan jenis lain. Agar lebih presis, mungkin kita harus melepaskan pikiran, secara tegas dan tersirat, bahwa perubahab paradigma membawa ilmuwan dan mereka yang belajar daripadanya semakin mendekati kebenaran.

Jumat, 12 Maret 2010

MAKALAH FIQIH TENTANG (THAHARAH) ) BERSUCI 2

MAKALAH FIQIH TENTANG (THAHARAH) ) BERSUCI 2
Friday, May 9, 2008
I. PENGERTIAN THAHARAH

Thaharah berarti bersih ( nadlafah ), suci ( nazahah ) terbebas ( khulus ) dari kotoran ( danas ). Seperti tersebut dalam surat Al- A’raf ayat 82
إنّهم انا س يتطهّرون
Yang artinya : “ sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri “ . Dan pada surat al- baqorah ayat 222:
إنّ الله يحبّ التّوّابين و يحبّ المتطهّرين
Yang artinya : “ sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri “ .
Menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat ( menghilangkan ) penghalang yang timbul dari hadats dan najis. Ddengan demikian thaharah syara’ terbagi menjadi dua yaitu thaharah dari hadats dan thaharah dari najis.

II. THAHARAH DARI HADATS

Thaharah dari hadats ada tiga macam yaitu wudhu’, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang suci untuk tayammum.
A.WUDHU’
Menurut lughat ( bahasa ), adalah perbuatan menggunakan air pada anggota tubuh tertentu. Dalam istilah syara’ wudhu’ adalah perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat. Mula-mula wudhu’ itu diwajibkan setiap kali hendak melakukan sholat tetapi kemudian kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan berhadats. Dalil-dalil wajib wudhu’:

1. ayat Al-Qur'an surat al-maidah ayat 6 yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan sholat , maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan ( basuh ) kaimu sampai dengan ke dua mata kaki …”
2. Hadits Rasul SAW

لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Yang artinya “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi )
Fardhu wudhu’ yaitu :
1. niat 4. menyapu kepala
2. membasuh muka 5. membasuh kaki
3. membasuh tangan 6. tertib
Sunat wudhu’ yaitu :
1. membaca basmalah pada awalnya
2. membasuh ke dua telapak tangan sampai ke pergelangan sebanyak tiga kali, sebelum berkumur-kumur., walaupun diyakininya tangannya itu bersih
3. madmanah, yakni berkumur-kumur memasukan air ke mulut sambil mengguncangkannya lalu membuangnya.
4. istinsyaq, ykni memasukan air ke hidung kemudian membuangnya
5. meraatakan sapuan keseluruh lepala
6. menyapu kedua telinga
7. menyela-nyela janggut dengan jari
8. mendahulukan yang kana atas yang kiri
9. melakukan perbuatan bersuci itu tiga kali- tiga kali
10. muwalah, yakni melakukan perbuatan tersebut secara beruntun
11. menghadap kiblat
12. mengosok-gosok anggota wudhu’ khususnya bagian tumit
13. menggunakan air dengan hemat.
Terdapat tiga pendapat mengenai kumur – kumur dan menghisap air di dalam wudhu’ yaitu :
1. kedua perbuatan itu hukumnya sunah. Ini merupakan pendapat Imam Malik, asy- Syafi’I dan Abu hanifah.
2. keduanya fardhu’ , di dalam wudhu’. Dan ini perkataan Ibnu abu Laila dan kelompoka murid Abu Daud
3. menghisap air adalah fardhu’, dan berkumur-kumur adalah sunah. Ini adalah pendapat Abu Tsaur, aabu Ubadah dan sekelompok ahli Zahir.
Dalam wudhu’ terdapat niat. Ada beberapa pendapat mengenainya. Sebagian Ulama amshar berpendapat bahwa niat itu menjadi syarat sahnya wudhu’ , mereka adlah Ima as- syafi’I, Malik, Ahmad, Abu Tsaur, dan Daud. Sedang Fuqoha lainnya berpendapat bahwa niat tidak menjadi syarat ( sahnya wudhu’ ). Mereka adalah abu Hanifah, dan Ats- sauri. Perbedaan mereka karena , perbedaan pandangan mengenai wudhu’ itu sendiri. Yang memang bukan ibadah murni seperti sholat. Hal ini dilakukan demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Hal- hal yang mebatalkan wudhu’ :
1. Keluar sesuatu dari qubul atau dubur, berupa apapun , benda padat atau cair, angin. Terkecuali maninya sendiri baik yang biasa maupun tidak, keluar sendirinya atau keluar daripadanya. Dalil yang berkenaan dengan hal in yaitu surat Al- Maidah ayat 6 yang artinya “ … atau keluar dari tempat buang air ( kakus ) … “
2. Tidur, kecuali duduk dalam keadaan mantap. Tidur merupakan kegiatan yang tidak kita sadari, maka lebih baik berwudhu’ lagi karena dikhawatirkan pada saat tidur ( biasanya ) dari duburnya akan keluar sesuatu tanpa ia sadari.
3. Hilang akal, dengan sebab gila, mabuk, atau lainnya. Batalnya wudhu’ dengan hilangnya akal adalah berdasarkan qiyas kepada tidur, degan kehilangan kesadaran sebagai persamaannya.
4. Bersentuh kulit laki-laki dan perempuan .Firman Allah dalam surat An- nisa ayat 43 yanga artinya “ … atau kamu telah menyentuh perempuan ..” . Hal tersebut diatasi pada sentuhan :
• Antara kulit dengan kulit
• Laki- laki dan perempuan yang telah mencapai usia syahwat
• Diantara mereka tidk ada hubungan mahram
• Sentuhan langsung tanpa alas atau penghalang
5. Menyentuh kemaluan manusia dengan perut telapak tangan tanpa alas.



B. MANDI ( AL – GHUSL )

Menurut lughat, mandi di sebut al- ghasl atau al- ghusl yang berarti mengalirnya air pada sesuatu. Sedangkan di dalam syara’ ialah mengalirnya air keseluruh tubuh disertai dengan niat. Fardhu’ yang mesti dilakukan ketika mandi yaitu :
1. Niat. Niat tersebut harus pula di lakukan serentak dengan basuhan pertama. Niat dianggap sah dengan berniat untuk mengangkat hadats besar, hadats , janabah, haidh, nifas, atau hadats lainnya dari seluruh tubuhnya, untuk membolehkannya shalat.
2. Menyampaikan air keseluruh tubuh, meliputi rambut, dan permukaan kulit. Dlam hal membasuh rambut, air harus sampai kebagian dlam rambut yang tebal. Sanggul atau gulungan rambut wajib dibuka. Akan tetapi rambut yang menggumpal tidak wajib di basuh bagian dalamnya.
Untuk kesempurnaan mandi, di sunatkan pula mengerjakan hal-hal berikut ini:
1. membaca basmalah
2. membasuh tangan sebelum memasukannya ke dalam bejan
3. bewudhu’ dengan sempurna sebelum memulai mandi
4. menggosok seluruh tubuh yang terjangkau oleh tangannya
5. muwalah
6. mendahulukan menyiram bagian kanan dari tubuh
7. menyiram dan mengosok badan sebanyak- banyaknya tiga kali
Sebab –sebab yang mewajibkannya mandi :
1. mandi karena bersenggama
2. keluar mani
3. mati, kecuali mati sahid
4. haidh dan nifas
5. waladah ( melahirkan ). Perempuan diwajibkan mandi setelah melahirkan, walaupun ’ anak ‘ yang di lahirkannya itu belum sempurna. Misalnya masih merupakan darah beku ( alaqah ), atau segumpal daging ( mudghah ).

C. TAYAMMUM

Tayammum menurut lughat yaitu menyengaja. Menurut istilah syara’ yaitu menyampaikan tanah ke wajah dan tangan dengan beberapa syarat dan ketentuan .
Macam thaharah yang boleh di ganti dengan tayamumm yaitu bagi orang yang junub. Hal ini terdapat dalam surat al- maidah ayat 6 , yang artinya “ … dan jika kamu junubmaka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air ( kakus ) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik ( bersih )… “.
Tayammum itu dibenarkan apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. ada uzur, sehingga tidak dapat menggunakan air. Uzur mengunakan air itu terjadi dikarenakan sedang dalam perjalanan ( safir ), sakit, hajat. Ada beberapa kriteria musafir yang diperkenankan bertayammum, yaitu :
a. Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar tidak ada air maka ia boleh langsungbertayammum tanpa harus mencari air lebih dulu.
b. Ia tidak yakin, tetapi ia menduga disana mungkin ada air tetapi mungkin juga tidak. Pada keadaan demikian ia wajib lebih dulu mencari air di tempat- tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air.
c. Ia yakin ada air di sekitar tempatnya itu. Tetapi menimbang situasi pada saat itu tempatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayammum.
2. Masuk waktu shalat
3. Mencari air setelah masuk waktu shalat, dengan mempertimbangkan pembahasan no I
4. Tidak dapat menggunakan air dikarenakan uzur syari’ seperti takut akan pencuri atau ketinggalan rombongan
5. Tanah yang murni ( khalis ) dan suci. Tayammum hanya sah dengan menggunakan ‘turab’ , tanah yang suci dan berdebu. Bahan-bahan lainnya seperti semen, batu, belerang, atau tanah yang bercampur dengannya, tidak sah dipergunakan untuk bertayammum.
Rukun tayammum, yaitu :
1. niat istibahah ( membolehkan ) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya. Dalil wajibnya niat disini ialah Hadits yang juga dikemukakan sebagai dalil niat pada wudhu’. Niat ini serentak dengan pekerjaan pertama tayammum, yaitu ketika memindahkan tanah ke wajah.
2. menyapu wajah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 43 yang artinya “…sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya Allah mahapemaaf lagi maha pengampun “ .
3. menyapu kedua tangan.
Fuqoha berselisih pendpat mengenai batasan tangan yang diperintahkan Allah untuk disapu. Hal seperti tersebut terdapat dalam al- quran surat al- Midah ayat 6 yang artinya “ … sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu .. “ . berangkat dari ayat tersebut lahirlah pendapat berikut ini :
a. berpendirian bahwa batasan yang wajib untuk melakukan tayammum adalah sama dengan wudhu’ , yakni sampai dengan siku-siku ( madzhab maliki )
b. bahwa yang wajib adalah menyapu telapak tangan ( ahli zahir dan ahli Hadits )
c. berpendirian bahwa yang wajib hanyalah menyapu sampai siku-siku ( imam malik)
d. berpendirian bahwa yang wajib adalah menyapu sampai bahu. Pendapat yan asing ini diriwayatkan oleh Az- Zuhri dan Muhammad bin Maslamah .
4. tertib , yakni mendahulukan wajah daripada tangan .
Hal-hal yang sunat dikerjakan pada waktu tayammum yaitu :
1. membaca basmalah pada awalnya
2. mamulai sapuan dari bagian atas wajah
3. menipiskan debu di telapak tangan sebelum menyapukannya
4. meregangkan jari-jari ketika menepukannya pertama kali ke tanah
5. mandahulukan tangan kanan dari tangan kiri
6. menyela nyela jari setelah menyapu kedua tangan
7. tidak mengangakat tangan dari anggota yang sedang disapu sebelum selesai menyapunya
8. muwalah.
Hal –hal yang membatalkan tayammum , yaitu semua yang membatalkan wudhu’ , melihat air sebelum melakukan sholat , murtad.

III. THAHARAH DARI NAJIS

Benda-benda yang termasuk najis ialah kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan, nanah, cairan luka yang membusuk, ( ma’ al- quruh ), ‘alaqah, bangkai , anjing, babi ,dan anak keduanya, susu binaang yang tidak halal diamakan kecuali manusia, cairan kemaluan wanita.Jumhur fuqaha juga berpendapat bahwa khamr adalah najis, meski dalam masalah ini banyak sekali perbedaan pendapat dilingkungan ahli Hadits.
Berbagai tempat yang harus dibersihkan lantaran najis, ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian dan masjid. Kewajiban membersihkan pakaian didasarkan pada firman Allah pada surat al- Mudatsir ayat 4.
Benda yang dipakai untuk membersihkan najis yaitu air. Umat Islam sudah mengambil kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa dipakai untuk membersihkan najis untuk ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya menyatakan bahwa najis tidk bisa dibersihkan (dihilangkan ) kecuali dengan air. Selain itu bisa dngan batu, sesuai dengan kesepakatan ( imam malik dan asy- syafi’I ).
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara membersiohkan najis adlah dengan membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan air. Perihal menyipratkan air, ebagin fuqaha hanya mangkhususkan untuk membersihkan kencing bayi yan belum menerima tambahan makanan apapun.
Cara membersihkan badan yang bernajis karena jilatan anjing adalah dengan membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah. Hal ini berdasarkan Hadits Rasul SAW, yang artinya “ menyucikan bejana seseorang kamu, apabila anjing minum di dalam bejana itu , ialah dengan membasuhnya tujuh kali , yang pertama diantaranya dengan tanah.


Fotenote: http://www.anakciremai.com/2008/05/makalah-fiqih-tentang-thaharah.


12
KITAB THAHARAH
by Darmi AR in
Thaharah menurut pengertian etimologis adalah suci dan bersih, seperti kalimat “Thahhartu al-tsauba”, maksudnya “aku mencuci baju itu sampai bersih dan suci”. Menurut pengertian syara’, thaharah adalah mensucikan diri dari hadats atau najis seperti mandi, berwudhu’, tayamum dan sebagainya. Masih dalam pengertian bersuci, kegiatan yang serupa dengan ketentuan di atas, seperti mandi atau mencuci dengan berulang kali, memperbaharui wudhu dan tayamum, mandi yang disunnahkan dan yang semakna dengan itu meskipun tidak bermaksud menghilangkan hadats atau najis.
Dalam pandangan Islam, masalah bersuci dan segala yang berkaitan dengannya merupakan kegiatan yang sangat penting, karena diantara syarat syahnya shalat ditetapkan agar orang yang mengerjakannya suci dari hadats, suci badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (Q.S. al-Baqarah, 2 : 222). *
Bersuci atau berthaharah berkaitan langsung dengan (1) alat bersuci, seperti air, tanah, batu dan sebagainya. (2) kaifiat atau cara bersuci, (3) macam dan jenis najis yang harus dihilangkan, dan (5) sebab-sebab yang mengakibatkan wajibnya bersuci. Bersuci terdiri dari dua bagian yaitu bersuci dari (1) hadats yang terdiri dari dua bagian pula, yaitu hadats besar dan hadats kecil. Hadats besar disucikan dengan jalan mandi, sedangkan hadats kecil dilakukan denngan cara berwudhu. (2) bersuci dari najis, dengan jalan mencuci benda yang kena najis, sehingga hilang materi najis itu, warna, rasa dan baunya.
Air Sebagai Alat Bersuci
Air digunakan sebagai alat bersuci berdasarkan firman Allah SWT. Dan ketetapan Rasulullah SAW misalnya, “dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu...” (Q.S. al-Furqan, 25 : 28)*
Penggunaan air untuk bersuci dijelaskan dalam beberapa hadits Nabi SAW. Diantaranya, setelah Rasulullah mengucapkan takbiratul ihram untuk shalat, beliau berhenti sejenak untuk membaca al-Fatihah. Seorang sahabat bertanya kepadanya, “apa yang engkau baca?” Nabi SAW menjawab : “Wahai Allah jauhkanlah diriku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana engkau menjauhkan timur dan barat. Wahai Allah sucikanlah diriku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana disucikannya kain yang putih dari noda kotoran. Wahai Allah, sucikanlah diriku dari kesalahan-kesalahan dengan air es dan air embun”. (H.R. Jama’ah kecuali Turmudzi)*
Hadits berikutnya mengenai suci dan mensucikannya air laut, diriwayatkan seorang pria bertanya pada Nabi SAW : “Wahai Rasulullah SAW, kami berlayar ditengah laut, sedangkan kami hanya membawa sedikit air. Bila kami gunakan air itu untuk berwudhu, kami akan kehausan, bolehkah kami berwudhu’ dengan air laut?” Nabi SAW menjawab : “Air laut itu suci dan bangkai (ikan)nya halal”. (H.R. Khamsah)*.
Air yang digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yaitu (1) air hujan, (2) air laut, (3) air sungai, (4) air sumur, (5) air sumberan (berasal dari mata air), (6) air es (salju) dan (7) air embun. Keterangan mengenai macam air di atas, telah dikemukakan dalam uraian yang lalu, sedangkan pada air sumur diterangkan bahwa Rasulullah SAW ditanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau berwudhu’ dengan air sumur budhu’ah, padahal orang banyak, orang yang mens dan junub datang ke sana”. Nabi bersabda : “Air itu suci, tidak dinajiskan oleh suatu apapun”. (dihasankan Turmudzi, dishahihkan oleh Ahmad dan lainnya).*
Pembagian Air
Air sebagai alat untuk bersuci, dibagi menjadi empat bagian yaitu (1) air yang suci dan mensucikan, (2) air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan, (3) air yang terkena najis, (4) air yang makruh untuk digunakannya.
Air yang suci dan dapat mensucikan adalah air yang asli, disebut juga air mutlak. Ia boleh diminum, bisa mensucikan sesuatu yang kena najis dan bisa untuk bersuci secara umum. Air yang termasuk dalam kategori ini adalah air yang asli, bukan air yang telah dipakai untuk bersuci, seperti air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumberan dari mata air, air embun, air es dan sebagainya. Perubahan air dari air yang asli, tidak selamanya mengubah status air itu yang suci dan mensucikan, seperti dalam perubahan berikut ini :
1. Berubahnya air disebabkan oleh tempatnya, seperti air yang mengalir pada batu kapur atau batu belerang.
2. Perubahan air karena lama tergenang dalam kolam atau bak mandi.
3. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti disebabkan oleh ikan atau tumbuh-tumbuhan air.
4. Berubah disebabkan oleh tanah yang suci, demikian juga perubahan-perubahan yang disebabkan oleh sesuatu yang sulit dihindari, seperti daun-daunan yang berjatuhan kedalamnya atau batang pohon yang runtuh sehingga mengenai air tersebut. (Taqy al Din : tt, h.7 bandingkan Sulaiman Rasyid : 1994, h.29).
Air suci tetapi tidak mensucikan, status air itu suci, tetapi tidak bisa digunakan untuk bersuci atau mensucikan benda yang terkena najis. Termasuk dalam kelompok ini terdapat tiga macam air, yaitu :
1. Air yang telah berubah salah satu sifatnya, disebabkan bercampur dengan benda yang suci, selain dari perubahan tersebut di atas, seperti air kopi, air susu dan yang serupa dengan itu.
2. Air yang sudah dipakai untuk bersuci disebut air musta’mal, yang tidak berubah sifatnya dan air itu jumlahnya kurang dari dua qulah. Air dua qulah, kurang lebih berukuran satu hasta, lebar, panjang dan tingginya atau kira-kira berukuran 60 cm3 (Taqy al Din : tt, h.11). mengenai penjelasan ini banyak dikemukakan pendapat para ahli yang bervariasi. Sebagai pedoman awal kita pegangi pukuran tersebut.
3. Air pohon-pohonan atau buah-buahan, seperti air yang keluar dari batang pohon tebu, batang aren, air kelapa dan serupa dengan itu.
Air yang kena najis, ada dua macam yaitu (a) air yang berubah salah satu sifatnya karena najis, air ini dihukumi najis, tidak boleh dipakai untuk bersuci, baik air itu dalam jumlah sedikit ataupun banyak. (b) air yang terkena najis yang tidak berubah salah satu sifatnya, bila sedikit, kurang dari dua qulah maka hukumnya najis dan tidak boleh digunakan untuk bersuci. Bila jumlahnya mencapai dua qulah atau lebih maka hukumnya menjadi suci dan mensucikan. Nabi SAW bersabda : “Air itu tidak dinajiskan sesuatu, kecuali bila berubah rasa, warna atau baunya”. (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqqi).* “bila air itu mencapai dua qulah tidak dinajiskan oleh suatu apapun”. (H.R. Ahli Hadits yang Lima).*
Air yang makruh dipakai, adalah air yang terjemur sinar matahari dalam bejana, selain bejana emas dan perak. Air itu tetap suci dan mensucikan, tetapi makruh digunakan untuk bersuci berkaitan dengan tubuh, tidak dimakruhkan untuk mencuci pakaian. Air yang terkena panas matahari yang berada dalam kolam, sawah, danau dan sebagainya, tidak dimakruhkan untuk bersuci. Diriwayatkan dari Aisyah, sesungguhnya ia telah memanaskan air pada sinar matahari maka bersabda Rasulullah SAW. Kepadanya : “Jangan berbuat begitu wahai Aisyah, sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit supak”. (H.R. Baihaqi).*
Benda-Benda Najis
Segala macam benda, hukum dasarnya adalah suci, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa benda itu najis. Benda-benda yang tergolong najis berdasarkan dalil syar’i adalah : (1) bangkai, kecuali bangkai belalang dan ikan, baik ikan tawar maupun laut, (2) darah, (3) nanah, (4) yang keluar dari dua jalan manusia, qubul atau dubur, seperti tinja, air seni, wadi dan madzi, kecuali air mani. (5) muntahan, (6) khamr atau minuman keras, (7) anjing, (8) babi, (9) air susu hewan yang haram dimakan dan (10) bagian hewan yang dipisahkan dari tubuhnya.
Keterangan di atas berdasarkan pada dalil sebagai berikut : Firman Allah SWT : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala”. (Q.S. al-Maidah, 5 : 3).* Bangkai belalang dan ikan berdasarkan pada sabda Nabi SAW: “Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu (1) ikan, (2) belalang, (3) hati, dan (4) limpah”. (H.R. Ibnu Majah).* Kulit bangkai dan tulang yang telah disamak, hukumnya suci kecuali bangkai anjing dan babi, berdasarkan Hadits Nabi SAW : “Apabila kulit bangkai di samak, maka menjadi suci”. (H.R. Muslim).
Darah dan nanah tergolong najis berdasarkan ayat di atas, kecuali darah yang menempel pada hati dan limpah yang sulit dihilangkan, maka tidak diharamkan berdasarkan hadits yang menyatakan tentang halalnya ikan dan belalang. Najisnya kotoran yang keluar dari qubul dan dubur, seperti tinja, air kencing, wadi dan madzi berdasarkan sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya Rasulullah SAW, ketika diberikan kepadanya dua biji batu dan tinja kering yang keras, untuk dipakai istinja’, beliau mengambil kedua batu itu sedangkan tinja beliau tolak, seraya bersabda : “Tinja ini najis”. (H.R. Bukhari).*
Mengenai najisnya air kencing, wadi dan madzi dijelaskan Nabi SAW. Ketika seorang Badwi kencing dalam masjid, Nabi bersabda : “Bersihkanlah air kencing itu dengan seember air”. (H.R. Baihaqi dan Muslim).* dari Ali kw. Berkata: Aku seorang pria yang sering keluar madzi, aku malu untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, karena sebagai menantunya maka aku perintahkan seseorang untuk bertanya kepada beliau. Nabi menjawab : “Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’”. (H.R. Muslim).* Madzi adalah sedikit cairan yang agak kental yang keluar dari kemaluan, disebabkan oleh adanya sedikit rangsangan, keluarnya cairan ini biasanya tidak terasa. Sedangkan wadi adalah sedikit cairan yang agak kental, yang keluar dari kemaluan, biasanya mengiringi air kencing atau karena terlalu lelah, sehabis bekerja (Sayyid Sabiq): 1998, h. 20). Muntahan disepakati sebagai bagian dari najis karena kotor, makanan yang telah muntah itu telah masuk dalam perut, maka dihukumi najis.
Air mani hukumnya suci, berdasarkan pada keterangan, bahwa Nabi SAW ditanya mengenai air mani yang menempel pada pakaian, beliau menjawab : “Air mani itu seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu membersihkannya dengan secarik kain atau sehelai daun”. (H.R. Baihaqi, Daru Quthni dan Thahawi).* Meskipun suci, air mani disunnahkan untuk dicuci apabila basah dan dibersihkan atau dikerok bila kering. Berkata Aisyah ra : “Ku kerok mani itu dari kain Rasulullah SAW bila ia kering dan kucuci bila ia basah”. (H.R. Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar).*
Minuman keras atau khamer, dihukuni najis berdasarkan pada firman Allah : “...Sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan”. (Q.S. al-Maidah 5 : 90).* Anjing dan babi termasuk benda yang najis, berdasarkan ayat al-Qur’an yang mengharamkan daging babi dan sabda Nabi SAW yang menjelaskan najisnya anjing. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW : “Cara mencuci bejanamu yang dijilat oleh anjing, adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali yang pertamanya hendaklah dicampur dengan tanah”. (H.R. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi).*
Air susu hewan yang tidak halal dimakan tergolong najis, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’min : “Yang tergolong najis adalah empedu dan air susu hewan yang tidak dimakan, kecuali manusia”. (Zain al-Din, tt. H. 11). Sedangkan bagian hewan yang dipisahkan dari tubuhnya selagi masih hidup, dianggap najis, karena dikategorikan sebagai bangkai. Bulu hewan yang halal dimakan hukumnya suci, misalnya bulu ayam, burung, kambing dan sebagainya. Firman Allah SWT: “...dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)”. (Q.S. an-Nahl, 16 : 80).*
Pengelompokan Najis dan Cara Mensucikannya
Ahli Fiqh membagi najis, dari segi berat dan ringannya, menjadi tiga bagian, yaitu (1) najis Mughallazhah atau najis yang berat, (2) najis Mutawasithah atau pertengahan dan (3) najis Mukhafafah atau najis yang ringan. Najis mugallazhah ada pada anjing dan babi. Cara mencucinya adalah membasuh benda yang kena najis itu sampai hilang materi najisnya, warna, bau dan rasanya, dibasuh sampai tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah. Najis Mutawasithah adalah najis-najis yang telah disebutkan di atas, selain anjing dan babi, seperti kotoran, bangkai dan sebagainya. Najis Mukhafafah adalah air kencing anak bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu.
Cara membersihkan semua najis tersebut adalah harus hilang, materi najis itu, warna, rasa dan baunya. Sedangkan najis mukhafafah cukup dengan memercikkan air kepadanya. Penjelasan mengenai beberapa dalil mengenai najis tersebut telah diuraikan pada kajian mengenai benda-benda najis, sedangkan mengenai cara mensucikan benda yang terkena najis mukhafafah disebutkan sabda Nabi SAW : “Kencing anak perempuan dibasuh dan kencing anak laki-laki diperciki air”. (H.R. Tirmidzi).*
Dari segi hukumnya, najis dibagi menjadi dua bagian yaitu (1) najis ‘ainiyah dan (2) najis hukmiyah. Najis ‘ainiyah adalah benda najis yang masih ada materinya, seperti zat, rasa dan bau. Najis hukmiyah adalah najis yang materinya sudah hilang, seperti air kencing yang sudah kering. Secara hukum ia najis tapi materi najisnya sudah hilang, cara mensucikan benda yang terkena najis ‘ainiyah, dicuci sehingga hilang materi najis itu, rasa, warna dan baunya. Kecuali warna atau bau yang sangat sulit dihilangkan maka dimaafkan. Benda yang kena najis hukmiyah, cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada benda tersebut. (Sulaiman Rasyid : 1994, h. 36).
Istinja : Bersuci Karena Buang Air
Apabila seorang buang air besar air kecil, diwajibkan bersuci atau istinja dengan air atau dengan tiga buah batu. Yang dimaksud dengan batu adalah tiap-tiap benda yang keras, suci dan kesat seperti kayu dan sebagainya. Menurut hemat penulis, pada saat sekarang ini sangat sulit bila mencari batu untuk bersuci, karena itu bila tidak ada air bisa dilakukan dengan tissue atau yang sejenisnya. Syarat istinja dengan batu, kayu atau tissue, hendaklah sebelum kotoran itu kering dan kotoran itu tidak mengenai tempat lain selain tempat keluarnya. Bila kotoran itu telah kering dan telah mengenai tempat lain selain tempat keluarnya, maka tidak disyahkan istinja dengan batu, kayu atau tissue, tetapi harus bersuci dengan air.
Uraian tersebut berdasarkan pada beberapa hadits berikut: “Sesungguhnya Rasulullah melewati dua kuburan, seraya bersabda : Sesungguhnya kedua orang yang ada dalam kuburan itu sedang disiksa. Salah satunya disiksa karena mengadu domba sesama manusia dan yang lain disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya”. (H.R. Bukhari & Muslim).* “Apabila salah seorang diantaramu bersuci dengan batu, hendaklah batu itu hitungannya ganjil”. (H.R. Bukhari & Muslim).* “Berkata Sulaiman : Rasulullah SAW melarang kami untuk bersuci dengan batu kurang dari tiga”. (H.R. Muslim).*
Adab Buang Air
Bagi setiap orang yang akan buang air besar atau air kecil diarahkan agar memperhatikan adab-adabnya, sebagai berikut : (1) tidak membawa sesuatu yang memuat nama Allah, kecuali bila dikhawatirkan akan hilang. Anas ra meriwayatkan : “Sesungguhnya Nabi SAW memakai cicin yang berukiran Muhammad Rasulullah dan bila beliau masuk WC maka cincin itu ditanggalkannya” (H.R. Arba’ah).* (2) Menjauhkan diri dari orang lain agar tidak mengganggu mereka, baik karena bau atau suaranya. Jabir ra meriwayatkan : “Kami bepergian bersama Rasulullah SAW pada suatu perjalanan. Beliau tidak membuang air kecuali bila telah lepas dari penglihatan manusia”. (H.R. Ibnu Majah). Menurut riwayat Abu Dawud : “Beliau bermaksud hendak buang air beliau pergi jauh hingga tidak terlihat orang lain”.*
Adab yang ke (3) membaca basmalah dan isti’adzah secara jahar (jelas), waktu hendak masuk WC. Anas ra meriwayatkan : “Apabila Nabi SAW hendak masuk WC, beliau membca bismillahi allahumma inni audzubika minal khubutsi wal khabaitsi (dengan nama Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan syaitan laki-laki dan syaitan perempuan)”. (H.R. Jama’ah).* (4) Tidak berbicara pada waktu buang air, kecuali sangat penting sekali. Ibnu Umar ra meriwayatkan : “Sesungguhnya seorang pria lewat pada Nabi SAW, beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam. Nabi SAW tidak menjawab salam orang tersebut”. (H.R. Jama’ah kecuali bukhari).* “Jangan keluar dua orang laki-laki pergi ke WC sambil membuka aurat dan bercakap-cakap, karena Allah SWT mengutuk perbuatan seperti itu”. (H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).*
Adab selanjutnya (5) tidak menghadap atau membelakangi kiblat, kecuali berada dalam ruangan atau ada tabir yang menghalanginya. Bersabda Rasulullah SAW : “Apabila salah seorang diantaramu duduk untuk buang air, janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya”. (H.R. Ahmad & Muslim).* Ibnu Umar meriwayatkan : “Pada suatu hari aku naik ke rumah Hafsah, maka aku melihat Nabi SAW buang air sambil menghadap ke Syam dan membelakangi ka’bah”. (H.R. Jama’ah).* Al-Ashghar berkata :”Aku melihat Ibnu Umar memberhentikan kendaraannya ke arah kiblat dan buang air kecil menghadap ke sana”. Aku bertanya kepadanya :”Wahai Abu Abdurrahman (panggilan Ibnu Umar), bukankah itu dilarang?” Ia menjawab : “Memang benar, tetapi hal itu hanya dilarang di lapangan terbuka. Maka bila diantaramu dengan kiblat ada penghalang, tidak menjadi masalah”. (H.R. Abu Dawud, Abu Hurairah dan hakim).*.
Adab berikutnya (6) buang air pada tempatnya, atau mencari tempat yang wajar, sehingga anggota badan atau pakaian tidak terkena najis. Bersabda Nabi SAW : “Apabila salah seorang diantaramu buang air kecil, hendaklah ia memilih tempat yang sesuai”. (H.R. Ahmad & Abu Dawud).* (7) Tidak buang air dalam lubang, karena dimungkinkan akan menyakiti hewan atau makhluk lain yang ada di dalamnya. Abdullah bin Sarjid meriwayatkan : “Nabi SAW melarang buang air kecil dalam lubang”. Mereka bertanya pada Qutadah : “Mengapa dilarang kencing di dalam lubang?”. Ia menjawab : “Karena lubang adalah tempat tinggal jin”. (H.R. Ahmad, Nasai, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi).*
(8) Agar menghindari tempat orang bernaung, berkumpul, beristirahat atau jalan umum. Abu Hurairah meriwayatkan, Nabi SAW bersabda : “Takutlah kamu pada kutukan orang banyak”. Mereka bertanya : “Siapakah mereka itu?”. Nabi SAW menjawab : “Dia yang buang air di jalan atau tempat bernaung atau tempat beristirahat mereka” (H.R. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).* (9) Tidak buang air di tempat mandi, pada air tergenang ataupun air yang mengalir. Abdullah Mughaffal meriwayatkan : “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah salah seorang diantaramu buang air kecil ditempat mandinya, kemudian ia berwudhu di sana karena pada umumnya waswas (keraguan) itu berasal dari sana”. (H.R. Khamsah).* Kalimat “kemudian ia berwudhu di sana”, hanya terdapat dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud. Jabir ra meriwayatkan : “Nabi SAW melarang buang air kecil pada air yang tergenang”. (H.R. Ahmad, Muslim, Nasai dan Ibnu Majah).* Juga diriwayatkan olehnya : “Sesungguhnya Nabi SAW melarang membuang air kecil pada air yang mengalir”. (H.R. Thabrani) (Sayyid Sabiq : 1998, h.26)*
(10) Karena dianggap tidak sopan agar tidak kecing sambil berdiri, hal itu juga mengakibatkan air seni menyebar kemana-mana, kecuali kalau tempatnya tidak memungkinkan, atau kesulitan melakukannya. Misalnya bagi orang yang memakai celena panjang, sukar melakukan kencing sambil duduk (mendek), sedangkan tempat buang air kecil disediakan sambil berdiri (urinoir), maka kecing sambil berdiri tidak menjadi masalah. Sayyidah Aisyah ra berkata : “Siapa yang menceritakan bahwa Rasullah SAW kencing sambil berdiri, jangan dipercaya. Beliau tidak pernah kencing kecuali sambil duduk”. (H.R. Khamsah).* Aisyah ra menjelaskan yang sesungguhnya apa yang ia ketahui perihal Nabi SAW, karena itu hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan hudzaifah yang mengetahui perbuatan Nabi yang tidak dilihat Aisyah. Ia meriwayatkan : “Sesungguhnya Nabi SAW sampai ke suatu kaki bukit milik suatu kaum, kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri. Aku pergi menjauh darinya, tetapi nabi SAW mengatakan : “Mendekatlah kemari”, maka akupun mendekat sehingga berdiri dekat tumitnya, Nabi SAW kemudian berwudhu’ dan menyapu kedua sepatunya”. (H.R. Jama’ah).
(11) Wajib bersuci dengan menghilangkan najis dari kemaluan (qubul) atau dubur (anus) dengan air, atau dengan batu, kayu atau tissue atau yang serupa dengannya. Atau dengan keduanya; yaitu dengan batu, kayu atau tissue kemudian dengan air. Aisyah ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda : “Apabila ada salah seorang diantaramu buang air, maka bersucilah (istinja’) dengan tiga buah batu, karena dengan demikian itu cukuplah baginya”. (H.R. Ahmad, Nasai, Abu Daud dan Daruquthni).* Dari Aisyah ra : “Ketika Rasulullah memasuki WC, maka aku bersama seorang anak yang sebaya denganku, membawa seember kecil air dengan gayung, maka beliaupun bersuci dengan air itu”. (H.R. Buhari & Muslim).* Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW melewati suatu kuburan seraya bersabda : “Dua orang ini sedang mengalami siksaan, hal itu bukanlah disebabkan perkara yang berat. Salah seorang disebabkan tidak bersuci dari buang air kecil dan yang lain disebabkan dengan karena adu domba”. (H.R. Jama’ah).*
(12) Bersuci atau beristinja’ dengan tangan kiri, sebagaimana diriwayatkan : “Dikatakan orang pada Salman : “Nabimu telah mengajarimu segala sesuatu sampai soal kotoran”. Salman Menjawab : “Benar, Rasulullah SAW melarang kami menghadap kiblat, ketika membuang air besar dan air kecil, atau bersuci dengan tangan kanan, atau bersuci dengan benda najis atau bersuci dengan tulang”. (H.R. Muslim, Abu Daud dan Timidzi).* Dari Hafsah ra : “Sesungguhnya Nabi SAW selalu mempergunakan tangan kanannya untuk makan, minum, mengganti pakaian, memberi dan menerima, dan menggunakan tangan kirinya untuk selain dari itu”. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hiban, Hakim dan Baihaqi).* (13) Menggosok tangan dengan tanah setelah bersuci atau mencucinya dengan sabun atau yang serupa itu, untuk menghilangkan bau yang tidak sedap. Abu Hurairah meriwayatkan : “Nabi SAW bila pergi ke WC, kubawakan baginya air dengan bejana yang terbuat dari tembaga atau kulit, maka beliaupun bersuci, lalu mengusapkan tangannya ke tanah”. (H.R. Abu Daud, al-Nasai, Baihaqi dan Ibnu Majah).*
Untuk melenyapkan keraguan dan waswas, hendaknya (14) memerciki kemaluannya dengan air setelah bersuci, sehingga bila nanti kedapatan basah, maka akan beralasan bahwa yang basah dicelana itu adalah air percikan tadi bukan air kencing. Sofyan bin Hakam meriwayatkan : “Adalah Nabi SAW bila buang air kecil, kemudian memerciki kemaluannya dengan air”. Ibnu Umar biasa menyiram kemaluannya sehingga celananya jadi (sedikit) basah. (Sayyid Sabiq, 1998, h.29).* (15) Masuk ke dalam WC dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan, sambil membca do’a : “Ghufranaka” artinya “aku memohon ampunan-Mu”. Dari Aisyah ra : “Sesungguhnya Nabi SAW apabila keluar dari WC mengucapkan kalimat “ghufranaka”. (H.R. Khamsah kecuali al-Nasai).*
Sunah Fitriyah
Masih berkaitan dengan thaharah atau kebersihan, diperintahkan kepada setiap orang muslim agar melakukan sunah fitri yang berkaitan dengan tubuh dan aturan-aturan yang melingkupinya secara teratur dan berkesinambungan. Perintah tersebut berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW baik itu berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan-ketetapannya. Yang termasuk dalam sunah fitriyah adalah : (1) Khitan (circumicio), (2) mencukur bulu kemaluan, (3) membersihkan bulu ketiak, (4) memotong kuku, (5) memendekkan kumis atau memeliharanya dengan baik, (6) memelihara jenggot, (7) memelihara kerapihan rambut, (8) membiarkan uban atau mencelupnya dengan inai yang berwarna merah atau kuning, (9) menggunakan minyak wangi atau parfum.
Khitan atau circumicio adalah memotong kulit (kuncup) yang menutupi kemaluan atau glan penis, untuk menjaga kebersihan dan kesuciannya, sehingga terhindar dari penyakit kelamin. Khitan adalah sunah yang berlangsung lama, dimulai sejak zaman Nabi ibrahim as. Pada zaman Rasulullah Muhammad SAW, khitan biasanya dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran dan pada masyarakat Indonesia biasanya dilakukan pada umur enam sampai tujuh tahun. Menurut jumhur ulama khitan merupakan kewajiban bagi setiap muslim pria, karena berkaitan dengan kesucian dalam beribadah. (Sayyid Sabiq, 1998, h. 22). Mencukur bulu kemaluan dan membersihkan bulu ketiak, bisa dilakukan dengan menggunting atau mencukurnya, mengeroknya dengan silet, atau dengan alat cukur lainnya.
Memotong kuku, mencukur kumis dan memanjangkannya, boleh dilakukan secara teratur dan dijaga kerapihannya, sehingga tidak mengganggu. Bila memelihara agar tidak terlalu panjang, sehingga tidak menyangkutnya makanan dan tidak menjadi tempat berkumpulnya kotoran. Memotong kuku, mencukur bulu kemaluan dan membersihkan bulu ketiak atau memendekkan kumis, sunah dilakukan setiap minggu. Hal itu diharapkan agar selalu menjaga kebersihan dan menimbulkan kegairahan dalam aktivitas sehari-hari. Karena bila tidak terurus dengan rapih akan menyebabkan fikiran menjadi kusut dan melemahkan gairah kerja.
Apabila memelihara jenggot, hendaknya dipangkas dengan baik, sehingga menampakkan keindahan. Jenggot itu tidak boleh dibiarkan, tidak diurus sehingga menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan. Merapihkan rambut dan menjaga kebersihannya, menyisirnya dengan rapih merupakan sunah atau tradisi yang dilerstarikan dalam kehidupan kaum muslimin. Membiarkan uban di kepala dan tidak mencabutnya, baik bagi pria ataupun wanita, diharapkan dapat mengingatkan umur yang kita miliki, sehingga kita dapat memanfaatkan usia yang masih ada dengan sebaik-baiknya, untuk berbuat kebaikan. Bila rambut yang telah memutih itu akan diberikan zat pewarna hendaknya dicelup pada inai (zat pewarna) yang berwarna merah atau kuning.
Mengecat rambut dengan warna hitam, terdapat perbedaan pandangan, diriwayatkan bahwa ada diantaranya yang mewarnai rambut dengan warna kuning, sebagian lain mewarnai dengan inai dan katam, dan yang sebagaian lagi dengan warna hitam. Disebutkan oleh al-Hafidz dari Ibnu Syihab al-Zuhri diberitakan : “Bila wajah masih padat, kami mewarnai dengan warna hitam, tetapi bila wajah sudah keriput, dan gigi sudah banyak yang tanggal, kami tidak mencat rambut lagi”. (Sayid Sabiq : 1998, h.23). Memakai minyak wangi atau parfum merupakan sunah yang dilestarikan dalam kehidupan manusia muslim. Dengan demikian penampilannya di tengah-tengah masyarakat akan menimbulkan simpati dan menyenangkan teman bergaulnya. Karena itu memilih parfum atau minyak wangi yang cocok merupakan suatu keharusan, agar tidak menggunakan minyak wangi yang justru mengganggu orang lain.
Uraian di atas, berdasarkan pada pedoman berikut : Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda : “Ibrahim al-Khalil itu khitan pada usia 80 tahun, ia berkhitan dengan qadum (kampak)”. (H.R. Bukhari)* Qadum dalam pendapat lain tidak diartikan dengan kampak, tetapi nama sesuatu darerah. Maksudnya Ibrahim melakukan khitan di kota Qadum. Dari Ibnu Umar ra, Nabi bersabda : “Berbedalah (penampilanmu) dengan orang-orang musyrik, lebatkan jenggot dan rapihkan kumis”. (H.R. Bukhari & Muslim).* Dari Abu Hurairah ra, bersabda Rasulullah SAW : “Ada lima perkara yang termasuk fitrah yaitu mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku”. (H.R. Jama’ah).* Dari Zaid bin Arqam : “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Barang siapa yang tidak memotong kumisnya, ia tidak termasuk golongan kami”. (H.R. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi).*
Menggunting bulu kemaluan, membersihkan bulu ketiak, memotong kuku dan merapihkan kumis, hendaknya dilakukan setiap minggu dan tidak boleh melebihi dari empat puluh hari. Berdasarkan riwayat Anas ra : “Kami diberi tempo oleh Rasulullah SAW dalam memotong kumis, memotong kuku, membersihkan bulu ketiak, menggunting bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari”. (H.R. Ahmad, Abu Daud dan lainnya).* Memelihara jenggot dan merapihkannya, berdasarkan riwayat Ibnu Umar bersabda Rasulullah SAW : “Berbedalah dengan orang-orang Musyrik, lebatkan jenggot dan pendekkan kumis”. (H.R. Bukhari & Muslim). Bukhari menambahkan : “Bila Ibnu Umar pergi haji atau umrah, dipegangi jenggotnya dan yang melewati tangannya dipotong”.*
Merapikan rambut, memelihara kebersihan dan menyisir dengan baik, berdasarkan pada riwayat Abi Hurairah, Nabi SAW bersabda : “Siapa yang memiliki rambut maka muliakanlah dia (merapihkan dan memelihara kebersihannya) (H.R. Abu Daud).* Atha bin Yasar meriwayatkan : “Seorang pria berambut dan berjenggot kusut datang pada Rasulullah SAW, Rasulullah mengisyaratkan padanya, agar ia merapihkan rambut dan jenggotnya. Pria itu pergi dan merapihkannya kemudian menghadap lagi kepada Rasulullah SAW. Nabi bersabda : “Tidakkah yang demikian ini lebih baik dari pada datang salah seorang diantaramu dengan rambut kusut masai bagaikan syaithan?”. (H.R. Malik).*
Dari Abu Qutadah ra bahwa ia memiliki rambut yang lebat, terurai sampai ke bahu, maka hal itu ditanyakan pada Rasulullah SAW : “Nabi memerintahkan agar ia merapikan dan menyisirnya setiap hari”. (H.R. Nasai).* Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Cukurlah rambut itu seluruhnya atau biarkan seluruhnya”. (H.R. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasai).* menguncung rambut atau membiarkan sebagian rambut di kepala bagian atas seorang anak sedang yang lainnya dipanjangkan, tidak disukai atau dimakruhkan berdasarkan riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah SAW melarang qaza. Ditanyakan pada Nafi : “Apa yang dimaksud dengan qaza?”. Ia menjawab : :Mencukur rambut dan meninggalkan sebagian yang lainnya”. (H.R. Bukhari & Muslim).*
Membiarkan uban dan tidak berusaha mencukur atau mencabutnya dianggap baik, karena ia digambarkan sebagai cahaya dari seorang muslim. Bila hendak mencelub uban, hendaklah dicelub dengan inai (zat pewarna) yang berwarna merah atau kuning, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Semua itu berpedoman pada keterangan dari Amar bin Syu’aib. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Janganlah kamu mencabut uban, karena sesungguhnya uban itu adalah cahaya seorang muslim. Tiada seorang muslimpun yang tumbuh sehelai uban dalam menegakkan Islam, kecuali Allah akan mencatatkan baginya satu kebaikan, mengangkat derajatnya satu tingkat dan menghapuskan satu kesalahannya” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasai dan Ibnu Majah).* Anas ra berkata : “Kami tidak menyukai seorang pria yang mencabut rambut putih dari kepala dan jenggotnya”. (H.R. Muslim)* Dari Abi Hurairah ra, bersabda Rasulullah SAW : “Orang-orang yahudi dan Nasrani tidak mencat rambut mereka, maka bedakan dirimu engan mereka”. (H.R. Jama’ah).* Dari Abi Dzar ra, bersabda Rasulullah SAW : “Sebaik-baik bahan untuk mewarnai uban adalah inai dan khatam”. (H.R. Khamsah).* Inai dan khatam adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk mencelup rambut yang berwarna hitam kemerah-merahan atau warna pirang.
Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu Quhafah, ayah Abu Bakar al-Shidiq agar mengecat rambutnya dan agar menghindari warna hitam. Hal ini bila dihubungkan dengan pernyataan al-Hafidz dari Ibnu Syihab al-Zuhri : “Bila wajah kami masih padat, kami mencelup rambut dengan warna hitam, tetapi bila wajah keriput dan gigi telah tanggal kami tidak memakai itu lagi”. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak bertentangan, karena waktu itu Abu Quhafah sudah sangat tua, sehingga tidak layak lagi mencelup rambutnya dengan warna hitam. Perintah Nabi SAW kepada Abu Quhafah dijelaskan dalam hadits berikut, Abi Quhafah, yaitu ayah Abu Bakar al-Shiddiq didatangkan pada Nabi SAW waktu terbukanya kota Mekah, sedang (rambut) kepalanya memutih bagaikan kapas, Rasulullah saw bersabda : “Bawalah ia pada salah seorang istrinya, agar mencelub rambutnya dengan suatu bahan pewarna rambut dan hindarilah warna hitam”. (H.R. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Tirmidzi).


http://darmi-ar.blogspot.com/2008/05/kitab-thaharah.html.