Sabtu, 27 Maret 2010

اللأ مور بمقا صدها
Tiap-tiap perkara tergntung pada maksudnya

Pengertian kaidah ini bahwa hokum yang berimplikasih terhdap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subyek hukum (muamakah) tergantung dari maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yag dilarang dalam syariat islam. Sebagai tambahan penjelasan perlu kami tegaskan, bahwa apabila tindakan seseorang meninggalkan hal-hal yang terlarang dilakukan dengan segala ketundukan karena ada larangn yang berlaku dalam beberapa syara’ maka tindakan tersebut memeperoleh pahala. Namun, apabila tindakan tersebut berkaitan dengan tabiatatau perasaan jijik terhadap sesuatu yang ditinggalkannya tersebut tanpa memperhatikan status pelarangannya, maka ia dinilai sebagai perkara biasa dan tabiat manusiawi yang tidak beroleh pahala.
Sebagai contoh, memakai bangkai tanpa adanya rukhshah (dispensasi hukum) status hukumnya adalah haram. Dalam hal ini, terdapat nash syara’ yang dengan tegas mengharamkan kunsumsi bangkai dan melarang tindakan tersebut. Sehingga apabila melanggar tindakan tersebut. Sehingga apabila melanggar akan memperoleh hukuman di dunia dan akhirat. Nash tersebut adalah firman Allah “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…..” dan seterusnya. Apabila seseorang mencegah diri untuk tidak melakukan tindakan tersebut (konsumsi) bangkai dengan harapan bahwa ia berpegang teguh pada nash dan menerapkan ketentuan yang berlaku didalamnya maka tindakan ini memperoleh ganjaran dari Allah dan pelaku mendapatkan pahala kebaikan yang ditambhkan pada daftar pahala-pahala kebaikannya di sisi-Nya. Berdeda halnya bila seseorang tidak memakan bangkai karena factor psikologis didalam dirinya yang merasa jjik atau tidak suka terhadap bangkai, tanpa memandang nash yang mengharamkannya atau dengan bahasa lain seorang pasti akan memakannya seandainya tidak merasa jijik maka tindakan tersebut tidak berpahala sama sekali.

Maka yang tersirat (mafhum) dari kaidah ini bahwa niat dalam hati yang bersifat abstrak yang tidak disertaqi dengan suatu tindakan lahiria yang menjelaskannya, baiak berupa perkataan atau perbuatan tidak berimplikasi pada suatu hukum syar’i duniawi. Sebab menurut makna yang tersurat (mathuq) kaidah tersebut hanya mengikat hukum hanya dengan perkara-perkara lahiria, baik perkataan maupun perbuatan, meskipun ia membatasianya berdasarkan niat dan tujuan diblik perkara-perkara tersebut.
Kaidah ini lebih lanjut menurunkan kaidah particular sebagai berikut:
1. Barang siapa menjual sesuatu atau menceraikan istrinya didalam hati tanpa mengucapkannya, maka dia tidak dihukumi telah melakukan transaksi jual beli atau perceraian, meskipun ia secara lugas menyatakan telah meniatkan demikian.
2. Barang siapa membeli lahan kosong dengan niat untuk mewakafkannya, maka ia tidak serta merta menjadi pewakaf kecuali ia telah mengucpkan ikrar wakaf, misalnya: “aku wakafkan harta ini untuk orang-orang fakir miskin atau kepada lembaga-lembaga social,” dan sejenisnya.
3. Jika orang yang di titipi barang (al-wadi’) mengambil barang titipan dengan niatan mengonsumsinya (mamakainya), lalu ia mengambilkan lagi barang tersebut ketempatnya sebelum sempat melakukan tindakan yang diniatkannya, amun ternyata barang tersebut rusak setelah dikembalikan ketempatnya dan setelah ia antarkan, sementara ia tidak melakukan tindakan pelanggaran maupun kelalaian terhadap barang tersebut maka ia tidak dikenakan kewajiban membayar jaminan pengganti.
4. Barang siapa berniat meng-ghashab (merampas) harta milik orang lain, lalu ia urung melakukannya, namun kemudian harta tersebut rusak ditangan pemiliknya,, maka ia tidak dianggap sebagai peng-ghashab (perampas) dan tidak dikenai kewajiban mengganti, meskipun ia secara lugas menyatakan diri berniat melakuakan hal tersebut.
Harus diperhatikan dalam konteks ini, jika seseorang melakukan suatu tindakan, maka disisni tidak perlu dipersoalkan niat orang tersebut saat melakuknnya atau maksud yang ingin dicapainya dengan tindakan tersebut, serta implikasi implikasi hukum yang diniatkannya berdasarkan niat atau maksud tersebut kecuali tindakan tersebut termasuk hal-hal yang memiliki ragam niat dan maksud didalmnya yang berbeda-beda.
Adapun tindakan tersebut hanya mengandung kemungkinan satu maksud tertentu, maka tidak ada alasan disini untuk membahas dan mempersoalkan niat atau maksud, bahkan tidak dapat diterima jika pelaku mengaku niat yang berbeda (dengan niat tunggal yang disepakati). Sebab pengakuan seperti ini dapat disimpulkan sebagai keinginan untuk melepaskan diri dari konsekuensi-konsikuensi hukum yang mengiringi perkataan atau perbutannya. Dan jalan (peluang) ini harus ditutup bagi orang yang hendak menempuhnya.
Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa lafal-lafal yang jelas (lugas) tidak membutuhkan niat untuk membangun konsekkuensi hukum duniawi yang mengikutinya. Dengan bahasa lain, pernyataan yang lugas(al-lafzh ashsahrih) tetap membawa konsekuensi-konsekuensi hukum, meskipun orang yang menyatakannya mengaku bahwa ia tidak bermaksud menyatakannya (melafalkannya) atau tidak menginginkan konsekuensi yang diakibatkan oleh ucapannya.
Sebagai contoh, barang siapa mengatakan pada seseorang:” telah kujual barang ini kepadamu dengan harga sekian”, lalu pihak kedua menyambutnya dengan menjawab: “aku terima”, maka terjadilah akad atau transaksi. Transaksi demikian disebut jual beli (tanpa mengandung kemungkinan makna yang lain) dengan segala konsekuensi hukumnya atas penjual maupun pembeli dan dengan segala ketentuan jual beli yang berlaku didalamnya. Disini penjual tidak dapat mengelak dan mengaku bahwa ia tidak bermaksud melakukan jual beli barang, melainkan hanya ingin menjual jasa atau manfaat barang, yakni menyewakannya, maupun interpretasi-interpretasi lain yang di kemukakannya untuk menghindar dari konsekuensi ucapannya.
Hal yang sama berlaku pada perkataan-perkataan yang dapat mengkibatkan penjatuhan hukuman tertentu terhadap pelaku jika diucapkan secara lugas, misalnya nasab atau qadzaf (tuduhan melakukan perzinaan). Di sini pelaku dapat dikenai sanksi hukuman jika tidak dapat membuktikan tuduhannya tanpa memandang pengakuannya bahwa ia sama sekali tidak punya niat untuk menyakiti korban dengan ucapannya tersebut. Contoh, jika seorang berkata pada seseorang, “Hai pezina, hai orang fasiq, atau hai anak hasil zina!” maka pernyataan tersebut dinyatakan sebagai kadzaf dengan segala konsekuensi hukum yang menyertainya, yaitu hukuman 80 kali cambukan. Disini tidak diterima pengakuan pelaku bahwa ia tidak bermaksud menuduh zina dalam arti bahasa, melainkan zina yang dimaksud adalah memandang bagian-bagian terlarang orang lain, yang juga dianggap zina berdasarkan hadist “kedua mata juga berzina”. Pengakuan ini tetap tidak dapat diterima, sebab maksud yang demikian adalah sesuatu yang samar / tersembunyi dan tak dapat kita lihat secara indrawi. Dari sini hukum harus dibangun perkara dan perkataan yang riil (nyata dan lugas) agar ketentuan hukum dan kaidah dapat berjalan secara baku, stabil, dan dapat dikenal luas.
Pebuatan-perbuatan yang hanya mengandung satu maksud tertentu juga dianggap seperti perkataan-perkataan yang lugas dari segi pembagian niat pelaku maupun penolakan klaim pengakuannya atas maksud yang di inginkannya. Misalnya kasus pembunuhan dan pencurian. Barang siapa membunuh seseorang dengan menggunakan alat sebagai mana umumnya dapat mematikan dan disertai unsur kesengajaan melakukan tindakan tersebut, seperti menikam orang lain dengan pisau yang tidak dipergunakan secara umum kecuali untuk membunuh (misalnya badik) kemudian orang yang di tikam terbuunuh, walaupun ia mengaku hanya ingin mencandai korban atau menakut-nakutinya, maupun alas an-alasan lain yang sejenis.
Begitu pula, barang siapa yang tertangkap basa ada didalam rumah orang lain tanpa izin penghuninya dan tanpa alas an jelas yang bisa diterimah, sambil membawa barang atau harta yang ada didalamnya, maka ia dianggap sebagai pencuri, meskipun ia berdalih tidak beraksud untuk mencuri, atau ingin menyelamatkan barang ketempat lain yang lebih aman dengan alasan bahwa ia tahu persis atau berperasanggka kuat bahwa barang yang diambilnya pasti akan rusak dilahap sijago merah yang sebentar lagi akan segera menjalar kedalam rumah.
Diantara lafal-lafal yang luas(sharih) ada yang menunjukkan makna yang tidak populer penggunaannya secara linguistic. Pnggunaan kata demikian dengan peniatan arti lain yang tidak populer mempengaruhi penjatuhan konsekuensi hokum atas ucapan tersebut secara agama (diyanatan, hubungan indifidual dengan tuhan) namun tidak berpengaruh secara legal formal (qadha’an). Barang siapa mengatakan kepada istrinya “kamu terlepas dari segala ikatan,” sementara yang dimaksudnya adalah memberikan kebebasan bertindak (bukan talak) maka secara agama tidak jatuh talak, namun secara legal formal dinilai jatuh talak, sebab Asy-Syari’ telah menetapkan bahwa guruan talak sama dengan talak yang serius (sungguh-sungguh). Kata gori pengecualian hokum tidak mencakup guruan didalamnya. Demekian pula dalam perkawinan, rujuk, sumpah, dan riddah. Karena itu, barang siapa yang berseloroh dengan nada bercanda bahwa ia seorang Yahusdi atau Nasrani maka ia telah murtad.
Sementara itu, untuk lafal-lafal yang tidak lugas (ghair sharih) dan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk beragam tujuan, maka setatus hukumnya berbeda-beda sesuai dengan maksud dan niat orang yang mengatakannya atau melakukannya. Termasuk dalam kategori ini adalah penggunaan shighat mudhari (present and future tense) tanpa disertai tanda yang memastikan signifikasinya untuk masa yang akan datang seperti huruf sin dan saufa dalam sebuah transaksi, misalanya “abi” dan asytari” Apabila sipenutur memakianya dengan pengertian “segera” (saat itu juga) maka terjadilah transaksi dengan penggunaan ungkapan tersebut. Namaun, apabila seorang berkata: “aku berniat trasaksi ini untuk masa yang akan datang,” maka ungkapan tersebut dianggap hanya sebagai janji semata.
Contoh lain dalam katagori ini adalah penggunaan kata-kata kiasan atau sindiran dalam talak. Seandainya seorang suami berkata pada istrinya: “kamu terlepas (mahlulah) dari segala ikatan yang mengikatmu,” maka pernyataan tersebut mengandung kemungkinan bahwa si istri terlepas dari ikatan perkawinan atau dengan kata lain talak.. Namun, dapat juga mengandung kemungkinan bahwa ia bebas bertindak dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat pribadi, rumah tangga, hubungan suami istri, ataupun yang lain. Dalam kondisi ini, penjelasan niat suami yang sebenarnya harus diketahui dan keputusan hokum pengadilan didasrkan pada niat yang sesungguhnya.
Adapun konteks perbuatan yang masuk dalam kata gori ini adalah jika seandainya seseorang memasang jerat atau perangkap, lalu ada binatang buruan yang jatuh tertangkap kedalamnya. Apa bila perangkap tersebut dipasangnya untuk menjerat binatang bururan, maka binatang yang tertangkap didalamnya menjadi miliknya sehingga orang lain yang mengambil binatang tersebut tanpa seizinnya ditetapkan sebagai perampasan hak milik orang lain (ghahib). Namun, apabila ia memasang jerat perangkap dengan tujuan dikeringkan setelah dicuci., maka ia tidak dianggap sebagai pemilik binatang yang jatuh tertangkap didalam jeratnya, sehingga binatang tersebut bisa diambil orang. Dalam hal ini, bukti-bukti pendukung (qarinah)-lah yang menjadi penentu.
Apa bila mengucapkan shighat suatu akad namun yang ia maksud adalah akad yang lain, maka yang menjadi penentu adalah niatnya, dan penjelasan atas niat tersebut dapat diterima jika lafal tersebut mengandung kemungkinan dua makna akad sekaligus bukit-bukti kontekstual yang mengarah pada maksud yang diinginkan penutur.
Termasuk dalam kata gori ini akad pernikahan dengan menggunakan lafal jual beli atau hibah dalam madzhab hanafi jika ia memang telah dipahami maksudnya sebagian nikah. Juga pada transaksi nyewa-menyewa dengan lafal jual beli manfaat (jasa) dan sebagainya. Dalam permasalahan ini, para ahli hokum islam merumuskan kaidah fiqih yang berbunyi:
العبرة فى العقود با القصود والمعانى لا بالأ لفا ظ والمبا نى
Yang dianggap berlaku dalam transaksi (akad) adalah maksud dan makna, bukan pernyataan dan bentuk verbal.
Berdasarkan kaidah ini, mereka menetapkan bahwa bai’ al-wafa’, yaitu system transaksi jual beli dimana penjual mengajukan persyaratan apabila ia dapat melunasi harga barang pada waktu tertetu, maka tidak ada transaksi diantara keduanya (dalam artian ia boleh mengambil kembali barangnya), merupakan transaksi gadai (rahn). Sebab maksud dalam transaksi terebut bukan menyerahkan kepemilikan barang kepada pemilik pengertian yang sama dengan gadai, sehingga berlakulah atasnya ketentuan hokum pengadaian. Dalam hal ini, petunjuk-petunjuk kontekstual (qarinah) yang dijadikan acuan untuk menjelaskan maksud dan tujuan yang sebenarnya.
Demikian pula jika seandainya seseorang membeli satu barang dengan system pembayaran berjangka (kredit, bi al-ajal) dan ia menyerahkan barang miliknya kepada si penjual sebagai titipan (amanah), maka transaksi demikian disebut rahn (gadai). Sementara jika ia memindahkan utangnya (hawalah) kepada orang lain sementara ia masih tetap menanggung utang, maka menurut madzhab Hanafi transaksi demikian dianggap sebagai kafalah jika memang orang yang dipindahi hutang mau mnerimanya, karena hawalah menurut madzhab Hanafi adalah pengalihan hutang dari tanggungan seseorang menjadi tanggungan orang lain. Begitu juga jika seorang meminjamkan uang, maka itu dalah utang piutang, (qardh), dan bukan trasaksi pinjam meminjam (ariyah). Sebab uang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengurangi atau bahkan menghabiskan nilainya. Sehingga bentuk pengembaliannya adalah dengan besar nilai uang yang sama. Dengan demikian, disini tidak berlaku ketentuan hokum ariyyah (mengembalikan barang dengan barang).
5. Andaikata seorang menyerahkan uang kepada orang lain, lalu dikemudian hari ia mengaku ia mengutangkannya (dengan system qardh), sementara si penerima mengklaimnya sebagai akad mudharabah, maka pendapat yang diambil adalah pendapat pihak yang kedua (yang menerima) disertai sumpah, dan qardh (akad utang-piutang) meniscayakan tanggungan (dhaman).
6. Apabila seorang istri menuntut atas pemberian nafkah atas sirinya yang telah diputus oleh pengadilan sebagai kewajiban suami dengan ketetapan hokum yang mengikat, sementara sisusmi mengaku telah mengirimkan nafkah kepadanya dan istri telah mengambilnya, namun keduanya sama-sama tidak memiliki bukti, maka pendapat yang diambil adalah pendapat istri disertai sumpah, sebab status asalnya adalah tidak adanya pengiriman nafkah.
7. Apabila seorang suami menceraikan istrinya dengan talaq ba’in beberapa saat sebelum ia meninggal dunia, lalu si istri mengaku bahwa percerainnya tersebut dilakuakan diasaat si suami sedang dalam keadaan sakit keras menjelang ajal, hingga iapun berhak mendapatkan harta warisan peninggalannya, sementara ahli waris mengklaim proses perceraiannya terjadi ketika masih dalam keadaan sehat sebelum sakit yang menyebabkan kematiannya, (sehingga ia tidak dapat dituding dan berkelit dan lari dari tanggung jawab), dan oleh karena si istri tidak berhak mendapatkan warisan, namun kedua pihak tidak ada bukti apapun, maka yang menjadi pertimbangan disini adalah pengakuan si istri desertai sumpahnya. Sebab baru diperselisihkan waktu terjadinya disini adalah talaq, maka ia waib disandarkan pada waktu terekat, yaitu sakit keras yang menatangkan kematian yang di klaim si istri selama pihak ahli waris tidak dapat menghadirkan bukti sebaliknya.
8. Jika orang yang mempunyai hak khiyar syarth hak membatalkan jual beliatau melanjutkannya dengan syarat dan batas waktu tertentu penerj), dalam transaksi jual beli memberikan pengakuan setelah berlalu waktu khiyair, bahwa ia telah membatalkan transaksi selama masa khiyar, sementara pihak lain mengklaim bahwa pembatalan transaksi habis setelah masa khiyar, sehingga akad jual beli menjadi keniscayaan, sementara kedua belah pihak tidak memiliki bukti, maka pendapat yang diambil adalah pandapat piahak yang menuntut tidk ada pembatalan transaksi disertai sumpahnya, sebab pembatalan disandarkan pada waktu yang terdekat dalam konteks diatas adalah pasca berlalunya masa khiyar.
9. Apabila seorang suami mejatuhkan talaq raj’i pada istrinya, lalu ia mengakui telah merujuk istrinya selama masa iddah (masa tungguh), namun si istri mengaku rujuk terjadi setelah habis masa iddah maka pengakuan si istri tidak dikabulkan disertai sumpahnya.
10. Apabila seorang al-wakil bi al-bai’ (daeler atau agen penjualan) mengaku telah memutuskan kontrak wakalah bahwa ia telah memjual barang yang telah dipasrahkannya dan menyerahkan uangnya kepada si pemberi kuasa wakalah (al-muwakkil) sebelum pemutusan kontrak, sementara al-muwakkil mengaku bahwa al-wakil menjualkn dan menyerahkannya selepas proses pemutusan kontrak maka memang jual beli telah berlangsung, maka pendapat al-muwakkil yang diambil disertai sumpahnya, sebab ia menolak tanggungan (dhaman) dan perinsip dasarnya adalah ketiadaan tangguangan.
Masih banyak lagi contoh-contoh kasus mikro (particular) yang tak terbatas jumlahnya dan kaidah-kaidah makro lainnya yang dapat dimasukkan dibawa kaidah umum ini, meski semuanya masuk dibawah katagori sumber hokum yang bersifat makro, umum dan berbasis ushuli (ad-dalil al-kulli al-am al-ushuli), yaitu istishhab al-ashl” yang telah disinggung dan di jelaskan di muka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar