Minggu, 15 November 2009

TOLERANSI BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
oleh Mahfud

A. PENDAHULUAN
Belakangan ini, agama adalah sebuahnama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhr banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama agama (mengatasnamakan agama) sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan.
Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan social bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.
B. Pembahasan
B.1. Pengertian
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.[1] Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.[2]
Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau system keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
B.2. Penggunaan Kata “Toleransi dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh/toleransi secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.
C. KAJIAN TEORITIS
C.1. Konsep Toleransi dalam Islam
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adapt-istiadat, dsb.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islamtidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.[3]
C.2. Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim
Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:
Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Ayat di atas juga memerintahka orang mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia.



(QS.Al-Hujurat:12)
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih saying, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah).[4] Tetapi seandainya etrjadi perbedaan pemahaman al-Qur’an dan sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan ataupun tidak, maka petunjuk al-Qur’an adalah:
C.3. Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama (Non-Muslim)
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
Sikap toleransi antar umat beragama bias dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.
Mengenai system keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir surat al-kafirun
Bahwa perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedabgkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan:
Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan ummatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain setelah kalimat sawa’ (titik temu) tidak dicapai (QS. Saba:24-26):
Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS. Al-Mumtahanah: 8):
Al-Qur’an juga berpesan dalam QS 16: 125 agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan cara-cara yang bijak.
Menulis ulang tafsir Ibnu Kathir utk al Hujurat:12. Ayat yang semoga bisa mencegah sy utk berprasangka buruk ataupun berbicara buruk ttg seseorang, aamiin..

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang."

diketik dari rangkuman Tafsir Ibnu Katsir (buku 4 halaman 431 ...):

Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang beriman banyak berprasangka, yaitu melakukan tuduhan dan sangkaan buruk terhadap keluarga, kerabat, dan orang lain tidak pada tempatnya, sebab sebagian dari prasangka itu adalah murni perbuatan dosa. Maka jauhilah banyak berprasangka itu
sebagai suatu kewaspadaan. Diriwayatkan kepada kami dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab bahwa beliau mengatakan, "Berprasangka baiklah terhadap tuturan yang keluar dari mulut saudaramu yang beriman, sedang kamu sendiri mendapati adanya kemungkinan tuturan itu
mengandung kebaikan."

Imam Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Jauhilah berprasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta. Janganlah kamu meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik, saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara."

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Muslim serta Abu Dawud dari al-Atbi dari Malik. Dan, dalam hadits Anas bin Malik dikatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"...Seorang muslim tidak boleh memboikot (memusuhi) saudaranya lebih dari tiga hari."
Diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi, lalu beliau menyahihkannya dari hadits Sufyan bin Uyainah.

Firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain." Yakni, satu sama lain saling mencari-cari kesalahan masing-masing.

Firman Allah SWT selanjutnya, "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain." Ayat ini mengandung larangan berbuat ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertiannya oleh Rasulullah saw., sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata,
"Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?" Rasulullah menjawab," Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya."
Ditanyakan lagi, "Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?" Rasulullah saw menjawab, "Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan, maka kamu telah berbohong."

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi yang mengatakan, "Hadits ini hasan dan shahih." Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.

Ghibah adalah haram berdasarkan ijma'. Tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini kecuali bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti penetapan kecacatan oleh perawi hadits, penilaian keadilan, dan pemberian nasihat. Demikian pula ghibah yang sejenis dengan ketiga hal ini. Sedangkan selain itu, tetap berada di dalam pengHARAMan yang sangat KERAS dan LARANGAN yang sangat KUAT.

Itulah sebabnya Allah SWT menyerupakan perbuatan ghibah dengan memakan daging manusia yang sudah menjadi bangkai. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT, "Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?" Yaitu, sebagaimana kamu membenci hal ini secara naluriah, maka kamu pun harus membencinya berlandaskan syariat, karena hukumannya akan lebih hebat dari sekadar memakan bangkai manusia. Dan jalan pikiran ini merupakan cara untuk menjauhkan diri dari padanya dan bersikap HATI-HATI terhadapnya.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. bersabda
"Setiap harta, kehormatan, dan darah seorang muslim adalah haram atas muslim lainnya. Cukup buruklah seseorang yang merendahkan saudaranya sesama muslim."

Turut pula diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Abu Burdah al-Balawi bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Hai orang-orang yang beriman dengan lidahnya dan keimanan itu belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah kalian mengikuti aib mereka. Karena, siapa saja yang diikuti aib mereka maka Allah SWT akan mencari-cari aibnya. Dan, barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, maka Allah akan mempermalukan dia di rumah-Nya."

Diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda,

"Ketika aku diangkat ke langit, aku melewati suatu kaum yang berkuku tembaga yang mencakar wajah dan dada mereka." Aku bertanya, "Siapakah mereka itu, hai Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka itulah orang yang selalu memakan daging-daging orang lain dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka."

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Sa'id al-Khudri berkata (219), "Kami bertanya, 'Ya Rasulullah, ceritakanlah kepada kami apa saja yang telah engkau lihat pada malam engkau diperjalankah Allah.'
Rasulullah saw. menjawab, '... Kemudian Jibril membawaku pergi menuju sekelompok makhluk Allah yang sangat BANYAK, terdiri atas laki-laki dan wanita. Ada sejumlah orang yang menunggui mereka dan bersandar pada lambung salah seorang di antara mereka. Kemudian orang itu memotong lambung mereka sekerat sebesar sandal, lalu meletakkannya di
mulut salah seorang di antara mereka. Kemudian dikatakan kepadanya, 'Makanlah sebagaimana dulu kamu telah memakannya.' Dan dia mengetahui daging yang harus dimakannya itu berupa bangkai.
Hai Muhammad, kalau dia mengetahuinya sebagai bangkai, tentu dia sendiri sangat membencinya. Kemudian aku bertanya, 'Hai Jibril, siapakah mereka itu?' Jibril menjawab, 'Orang-orang yang mencela dengan perbuatan dan ucapan. Mereka adalah orang-orang yang suka mengadu domba.' Kemudian dikatakanlah, 'Apakah salah seorang di antara
kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah menjadi bangkai, tentu kalian akan membencinya.' Sedangkan, dia dipaksa untuk memakan dagingnya itu."

Demikian yang dituturkan perawi dalam hadits ini. Dan kami telah menampilkannya, bahkan mencantumkannya secara keseluruhan di awal surat al-Isra'. Puji dan syukur bagi Allah semata.

Al-Hafizh Abu Ya'la meriwayatkan dalam kisahnya yang menceritakan perajaman Ma'iz r.a., sampai dia mengatakan (218), "... Nabi saw. mendengar dua orang; yang satu berkata kepada yang lainnya, 'Tidakkah kamu melihat, sesungguhnya seseorang yang aibnya telah ditutupi oleh Allah ini, akan tetapi dia tidak membiarkannya tertutup sehingga dia dirajam seperti anjing?' Kemudian Nabi melanjutkan perjalanan sehingga
tatkala melewati bangkai keledai, beliau mengatakan, 'Di manakah si fulan dan si fulan itu. Turunlah dan makanlah bangkai keledai ini.'
Mereka berdua mengatakan, 'Semoga Allah mengampuni engkau, ya Rasulullah. Mana mungkin hewan ini dimakan?' Rasulullah saw., 'Kalau begitu, apa yang telah kalian peroleh dari saudaramu yang dipercakapkan tadi adalah lebih buruk untuk dimakan daripada bangkai ini. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya saudaramu itu sekarang berada di sungai-sungai surga. Dia berenang di sana."

Sanad hadits ini shahih.

Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Abdillah r.a.,
"Ketika kami sedang bersama Nabi tiba-tiba semerbaklah bau bangkai yang tengik. Kemudian Rasulullah saw. bertanya, 'Tahukah kamu, bau apakah ini? Inilah bau orang-orang yang menggunjing orang lain.'"

Firman Allah SWT, "Dan bertakwalah kepada Allah." Yaitu, pada perkara yang telah Dia perintahkan dan Dia larang kepada kamu. Dan jadikanlah Dia sebagai pengawas kamu


Daftar pustaka
Sulaiman al- Umar Nasyir,. tafsir surat AL-Hujurat. jakarta timur: pustaka alutsar, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar